Suatu ketika Nabi Musa Di tengah
perjalanan bertemu dengan seorang ahli ibadah yang sedang ber-uzlah
menjauhkan diri dari keramaian. Ketika melihat Nabi Musa mendekatinya,
sang abid mendekat dengan penuh semangat. Wahai Nabi Allah, pasti engkau
suka berkomunikasi dengan Allah. Tolong tanyakan kepada Allah, di surga
tingkat berapa nanti aku ditempatkan di akhirat? kata sang abid penuh
yakin.
Wahai hamba Allah, bagaimana engkau bisa memastikan dirimu akan masuk surga? kata Nabi Musa dengan heran.
Bagaimana tidak, wahai Nabi Allah. Aku mengasingkan diri dari keramaian
sudah selama empat puluh tahun. Aku telah meninggalkan segala-galanya.
Selama itu aku tidak pernah melakukan perbuatan dosa. Aku hanya
berdzikir dan beribadah kepada Allah. Aku menjaga makanan haram, dengan
tidak aku makan kalau tidak dari daun-daun yang langsung jatuh ke
pangkuanku. Aku tidak minum kalau bukan air hujan. Tidak pastikah aku
masuk surga?
Nabi Musa kemudian melanjutkan perjalanannya. Di
Bukit Sina, ia berkomunikasi dengan Allah. Ya Allah, di tengah
perjalananku aku bertemu dengan seorang hamba-Mu. Dia ingin tahu di
surga tingkat berapakah gerangan tempatnya nanti? Jawab Allah: Wahai
Musa, sampaikan kepadanya bahwa tempatnya di neraka. Nabi Musa terkejut.
Ia pun kembali menemui sang abid. Melihat Nabi Musa datang,
sang abid dengan penuh semangat menemuinya. Ia ingin cepat mengetahui di
surga tingkat berapa tempatnya kelak di akhirat. Di surga ke berapa
tempatku nanti? Katakan secepatnya, wahai Nabi Allah! kata sang abid
seraya mengguncang-guncang bahu Nabi Musa.
Sabar wahai sahabatku. Kabar yang kuterima tempatmu nanti di neraka.
Bagaimana mungkin wahai Musa. Ibadah empat puluh tahun diganjar dengan
neraka? Tidak mungkin. Pasti engkau salah dengar. Tolong engkau kembali
lagi kepada Allah, tanyakan di surga ke berapa tempatku kelak.
Nabi Musa kembali. Di tengah perjalanan ia bergumam sendirian, Iya ya, aku akan memastikan.
Ya Allah, hambamu ingin kejelasan, apa benar tempatnya kelak di neraka? tanya Nabi Musa kepada Allah sekali lagi.
Allah Swt Menjawab, Aku tadinya memang akan menempatkannya di neraka.
Aku menciptakan manusia bukan untuk egoistis, Aku menciptakan manusia
sebagai khalifah dan untuk saling membantu sesamanya menuju jalan-Ku.
Abid tadi bukan mendekatkan dirinya kepada-Ku. Ia melarikan diri dari
realitas kehidupan yang nyata. Hanya memikirkan amal untuk dirinya
sendiri.
Pada saat engkau berjalan menuju ke sini, abid itu
tersungkur sujud, ia menangis sejadi-jadinya. Ia memohon kepada-Ku kalau
benar dirinya kelak akan ditempatkan di neraka maka jadikanlah dirinya
agar tubuhnya diperbesar sebesar neraka Jahanam, supaya tidak ada orang
lain yang masuk ke dalamnya selain hanya dirinya.
Pada saat itu, ia tidak lagi memikirkan dirinya sendiri. Ia kembali kepada tanggung jawabnya.
Kesalehan individu identik dengan hubungan seseorang secara pribadi
kepada Allah swt. Ia melakukan ibadah yang pahalanya hanya untuk dirinya
sendiri, tetapi manfaat ibadah yang dilaksanakannya tidak dirasakan
secara langsung dan berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
Ibadah sosial yaitu dawah lebih mengutamakan kepentingan orang lain,
tetapi berdampak positif juga bagi dirinya sendiri. Walaupun banyak
perintah untuk beribadah dalam agama ditujukan kepada individu tetapi
harus berdampak dalam kehidupan umat yang nyata.
Kesamaan
perintah Ramadhan diawali dengan panggilannya kepada orang-orang
beriman, dan ayat berikut mengenai dalil tentang kesholehan sosial juga
tidak lepas distatuskan kepada ciri khas orang-orang beriman sebagai
mana ayat berikut.
Allah SWT Berfirman : Dan orang-orang yang
BERIMAN, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
PENOLONG bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (
At-Taubah : 71 )
Allah SWT Berfirman: Kamu (Umat Islam) Adalah
Umat Terbaik, yang diturunkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf
dan mencegah kemungkaran (QS Ali Imran 103)
Ramadhan menjadi
momentum meningkatkan produktivitas dan berkarya, bukan
bermalas-malasan.bila dihayati secara mendalam, Ramadhan seperti
madrasatun mada al-hayah (madrasah sepanjang hayat) yang berkelanjutan
mendidik dan mengedukasi generasi demi generasi setiap tahun. Ramadhan
memuat makna-makna iman pada jiwa manusia, mengilhami mereka arti agama
yang hanif, dan memantapkan kepribadian Muslim yang hakiki
Kesempatan Ramadhan yang di dalamnya dijanjikan rahmat (karunia),
maghfirah (ampunan), dan itqun min al-nar(pembebasan dari api neraka),
sesungguhnya momentum ideal menemukan solusi banyak hal bagi umat. Puasa
yang benar dapat membangunkan hati Mukmin yang tertidur.
Pada
suatu hari Rasulullah Saw bersabda kepada para sahabatnya: Kamu kini
jelas atas petunjuk dari Robbmu, menyuruh kepada yang maruf, mencegah
dari yang mungkar dan berjihad di jalan Allah. Kemudian muncul di
kalangan kamu dua hal yang memabukkan, yaitu kemewahan hidup yang
mengakibatkan lupa diri dan kebodohan. Kamu beralih kesitu dan
berjangkit di kalangan kamu cinta dunia. Kalau terjadi yang demikian
kamu tidak akan lagi beramar maruf, nahi mungkar dan berjihad di jalan
Allah. Di kala itu yang menegakkan Al Quran dan sunnah, baik dengan
sembunyi maupun terang-terangan tergolong orang-orang terdahulu dan yang
pertama-tama masuk Islam. (HR. Al Hakim dan Tirmidzi)
Rasulullah Saw bersabda, Wahai segenap manusia, menyerulah kepada yang
maruf dan cegahlah dari yang mungkar sebelum kamu berdoa kepada Allah
dan tidak dikabulkan serta sebelum kamu memohon ampunan dan tidak
diampuni. Amar maruf tidak mendekatkan ajal. Sesungguhnya para robi
Yahudi dan rahib Nasrani ketika mereka meninggalkan amar maruf dan nahi
mungkar, dilaknat oleh Allah melalui ucapan nabi-nabi mereka. Mereka
juga ditimpa bencana dan malapetaka. (HR. Ath-Thabrani) [ymn]
Postingan Terkait Lainnya :
0 komentar:
Posting Komentar