MENYIBAK TABIR SYUBHAT, MERENGKUH CAHAYA KEBENARAN
“Gusti Allah Mboten Sare, Bejik Ketitik Olo Kawistoro Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti”
Assalaamu’alaikum wr wb.
Dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji hanya milik Allah swt. Shalawat dan salam tercurah kepada
Baginda Nabi Mohammad saw, keluarga, shahabat, dan orang-orang yang
berjalan di atas sunnahnya. Allahumahdinaa wahdi binaa waj’alnaa sababan
limanihtada (Yaa Allah, tunjukilah kami, dan tunjukilah dengan
perantara kami, dan jadikan kami sebagai sebab bagi orang-orang yang
mendapat petunjuk).
Ikhwaniy wa akhwatiy fillah, risalah ini adalah bayan al-faqir terkait
dengan berita simpang siur yang beredar di dunia maya. Perlu al-faqir
tegaskan; sesungguhnya al-faqir Syamsuddin Ramadhan An Nawiy adalah
anggota Hizbut Tahrir, sebuah partai yang didirikan untuk memenuhi
perintah Allah swt yang termaktub di dalam Surat Ali Imron (3): 104.
Partai yang bersendikan hanya ‘aqidah Islamiyyah dan menjadikan hukum
syariat sebagai satu-satunya tolok ukur perkataan dan perbuatannya.
Tidak ada satupun pemikiran Hizbut Tahrir, baik yang menyangkut
persoalan ‘aqidah maupun syariah yang tidak sejalan dengan Al-Quran,
Sunnah, dan apa yang ditunjuk oleh keduanya. Seluruhnya terpancar dan
bersumber dari Islam semata. Sampai saat ini, al-faqir menyaksikan
bahwasanya Hizbut Tahrir tetap berada di atas kebenaran, berjalan di
atasnya, dan menyerukan kebenaran itu tanpa pernah takut kepada para
penguasa dzalim dan fasiq, serta antek-antek negara kafir barat. Tidak
hanya itu saja, Hizbut Tahrir juga memegang teguh sikap-sikap agung dan
mulia yang dicontohkan Rasulullah saw dan para shahabat. Di antara sikap
mulia itu adalah memelihara darah, harta, dan kehormatan kaum Muslim,
tidak memecah belah umat Islam, berusaha mewujudkan kemashlahatan
mereka, tidak membesar-besarkan masalah khilafiyah dan focus pada
qadliyyah asasiyah, tidak bermanis muka kepada musuh-musuh Islam dan
kaum Muslim, selalu menjaga ‘iffah, dan sifat-sifat mulia lainnya. Oleh
karena itu, tatkala Hizbut Tahrir difitnah dan dideskriditkan sedemikian
rupa oleh orang-orang yang hasad, Hizbut Tahrir tetaplah dicintai,
dimulyakan, dan didukung oleh mereka yang memiliki hati ikhlash dan
bersih. Sebab, mereka mengetahui bahwasanya Hizbut Tahrir berdiri tegak
di atas kebenaran tanpa bergeser sedikitpun, meskipun badai fitnah terus
menerjang silih berganti.
Tidak hanya itu saja, Hizbut Tahrir adalah sebuah partai yang didirikan
oleh ulama terhormat dari keluarga yang mencintai Allah swt dan
RasulNya; Al-‘Allamah Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani rahimahullah. Beliau
adalah ulama besar yang dari sisi nasab dan hasab tidak disangsikan
lagi. Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani adalah cucu dari seorang ulama besar
madzhab Syafi’iy, Al-‘Allamah Syaikh Yusuf An Nabhani Asy-Syafi’iy, Abu
al-Mahasin, atau yang mendapat gelar Syafi’iy Tsaniy (Imam Syafi’i
Kedua). Seorang ulama yang menjadi benteng dan pembela Islam sejati. Di
bawah asuhan dan arahan ulama agung ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
berhasil mereguk tsaqafah Islamiyyah, menyelam hingga ke dasarnya, dan
mengurai syubhat-syubhatnya dengan teliti. Sejak usia dini, beliau telah
hafal al-Quran al-Karim hingga akhirnya meraih tingkatan tinggi dalam
dunia ilmu, yakni tingkatan mujtahid. Oleh karena itu, seluruh pemikiran
dan pandangan Hizbut Tahrir adalah pemikiran tangguh yang didasarkan
pada dalil dan metodologi istinbath yang kokoh, dan digali oleh ulama
yang memiliki kredibilitas ilmu dan personalitas. Sehingga, tidak ada
satupun pemikiran yang menyimpang dari ‘aqidah dan syari’ah, meskipun
hanya seujung rambut.
Itulah faktor-faktor penting yang menjadikan al-faqir, Syamsuddin
Ramadhan An Nawiy, hingga sekarang terus berada di dalam Hizbut Tahrir,
percaya kepada kepemimpinannya dan berusaha sekuat tenaga untuk
melibatkan diri, mendukung dan membantu perjuangannya yang agung, yakni
melanjutkan kehidupan Islam dengan cara menegakkan Khilafah Islamiyyah;
serta terlibat aktif dalam proyek raksasanya, yaitu menyadarkan umat
Islam untuk hidup sejalan dengan dienul Islam dan bersatu di bawah
naungan Khilafah Islamiyyah yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Tidak
hanya itu saja, al-faqir juga berusaha sekuat tenaga menyeru kepada
seluruh kaum Muslim, wa bil khushuss ulama, tokoh, dan para pembesar
militer dan kepolisian, untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada
perjuangan Hizbut Tahrir; serta menarik kembali dukungannya dari
penguasa dan partai sekuler. Sebab, al-faqir yakin seyakin-yakinnya,
aktivitas ini diridloi Allah swt, dan kelak akan dibalas Allah swt
dengan pahala yang berlipat ganda.
Sikap dan Pendirian
Adapun berkaitan dengan hukum melihat gambar aurat, maka pendirian dan
sikap al-faqir terhadap persoalan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama; al-faqir memahami sepenuhnya bahwasanya seorang Muslim tidak
boleh mengingkari perkara-perkara yang masih diperselisihkan
(al-mukhtalaf fiih). Yang wajib diingkari adalah perkara-perkara yang
sudah menjadi kesepakatan (mujma’ ‘alaihi). Di dalam Kitab Adab
al-Hiwaar wa al-Qawaa’id al-Ikhtilaaf, hal. 32, disebutkan, “Perbedaan
pendapat telah ada sejak lama, sejak masa para imam besar panutan kita,
seperti Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’I, Ahmad, Ats Tsauri, Al-Auza’i,
dan lainnya. Tapi tak satu pun mereka memaksa atau mempengaruhi yang
lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan
terhadap keilmuan atau terhadap pendapat lainnya, lantaran perbedaan
pendapat itu”.[Adabul Hiwar wal Qawa’idul Ikhtilaf, hal. 32]
Nabi saw sendiri telah memungkinkan hasil ijtihad seorang mujtahid bisa
berbeda dengan hasil ijtihad mujtahid lainnya. Hasil ijtihad seorang
mujtahid ada kalanya tepat, ada kalanya tidak tepat. Hanya saja,
masing-masing keduanya tetap mendapatkan pahala dari Allah swt. Nabi saw
bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَ إِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ أَجُرٌ
“Jika seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian benar
ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan jika dia menetapkan hukum
dengan berijtihad, tetapi kemudian salah, maka baginya satu pahala”.
[HR. Bukhari, hadits no: 6805; Muslim, hadits no: 3240; Abu Dawud,
hadits no 3103; Tirmidziy, hadits no: 1248; Ibnu Majah, hadits no:2305,
dan lain-lain]
Bersikap keras, fanatik, ambisius, dan merasa benar sendiri dalam
perkara furu’iyah-khilafiyah bisa dilakukan oleh siapa saja, terutama
bagi mereka yang dangkal pikirannya. Tetapi, bagi seorang ulama yang
meneladani para mujtahid besar, hal itu merupakan sebuah ‘aib. Imam
Sufyan Tsauri rahimahullah berkata, “Bagi kamu ilmu hanyalah keringanan
dari orang yang bisa dipercaya, adapun bersikap keras, maka setiap
manusia mana pun tentu bisa melakukannya”. [Hilyatul Auliyaa’: 3;133]
Imam Nawawi ketika menjelaskan sebuah hadits yang artinya, “[Barangsiapa
yang melihat kemungkaran dan seterusnya]”, beliau berkata:
وَإِنْ كَانَ مِنْ دَقَائِق الْأَفْعَال وَالْأَقْوَال وَمِمَّا
يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ،
وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء
إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ
فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ
مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ
الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ
“Jika perkara itu termasuk perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan
yang mendalam, dan termasuk perkara-perkara yang berkaitan dengan
ijtihad, maka orang awam tidak mungkin melibatkan diri ke dalamnya,
mereka juga tidak boleh mengingkarinya, tetapi hal itu menjadi tugas
ulama. Kemudian, ulama pun hanya boleh mengingkari perkara yang telah
disepakati (ijma’); adapun perkara yang masih diperselisihkan (mukhtalaf
fiih) tidak boleh ada pengingkaran. Sebab, atas masing-masing pendapat
dari dua pendapat (yang berbeda), maka setiap mujtahid adalah benar. Ini
adalah sikap yang dipilih mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiqin)”.
[Al-Minhaj, 1:131]
Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan garis perbedaan yang terang
benderang antara yang harus diingkari dengan yang tidak diingkari, di
dalam rumus ke-35 sebagai kesimpulan:
لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ, وَ إِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
“Tidak boleh diingkari masalah yang masih diperselisihkan, dan yang
diingkari hanyalah perkara yang sudah disepakati [Al-Asybah wa An
Nazhair, I:285]
Imam Ahmad bin Hanbal, seorang yang hafal ribuah hadits serta sanadnya,
hafal Al-Quran, dan juga seorang mujtahid mutlak, tetap menjunjung
tinggi adab dan akhlak yang mulia. Bagaimana beliau menghargai pendapat
orang lain dan toleransinya? Beliau rahimahullah pernah berkata,
“Tidaklah semestinya bagi seorang yang mengerti mengharuskan manusia
untuk mengikutinya metodenya, tidak boleh pula bersikap keras kepada
mereka yang berbeda”. Di tempat lain beliau berkata, “Barangsiapa yang
senang minum nabidz, karena mengikuti seorang imam yang membolehkan,
maka minumlah untuk dirinya sendiri”. [Al-Adab asy Syar’iyyah, 1:212]
Oleh karena itu, seperti yang disebut dalam Kitab Al-Asybaah wa
al-Nadhaair, kaedah ke 35, karya Imam Suyuthiy Asy-Syafi’iy
rahimahullah, “[Laa yunkaar al-mukhtalaf fiih, wa innamaa yunkaru
al-mujma’ ‘alaihi/Tidak diingkari perkara yang masih diperselisihkan;
dan yang diingkari hanyalah perkara yang sudah disepakati]”, maka, al-
faqir tidak akan mengingkari persoalan-persoalan yang masuk dalam ranah
khilafiyyah. Sepengetahuan al-faqir yang dlo’if ini, masalah melihat
gambar aurat wanita masih diperselisihkan di kalangan ahli ilmu. Adapun
bagaimana sikap seorang Muslim terhadap masalah-masalah khilafiyyah,
alangkah baiknya disimak juga penjelasan ‘Allamah Syaikh Mohammad
Suwaikiy rahimahullah ta’ala di dalam Kitab Al-Khalaash wa Ikhtilaaf
al-Naas –setelah beliau menjelaskan secara panjang lebar hukum melihat
gambar aurat, termasuk di dalamnya gambar wanita atau laki-laki
telanjang sebagian maupun keseluruhannya–:
إنَّ هذه المسألة فرعية وظنية، وليست من مسائل الاُصول، لذلك فهي خاضعة
للاجتهاد فمصيب ومخطئ، وكلاهما مأجور عند الله – سبحانه وتعالى – ، كما
بيناه في موضوع الاختلاف، ولا داعي لاتهام الناس أنهم خارجون بهذه المسألة،
مارقون من الإسلام، أو أنَّ هذه أحكام مخزية، أو غير ذلك من ألفاظ قبيحة
لا تليق بالمسلمين.
ذلك أنَّ هذه أحكام توصل إليها بالاجتهاد والاستنباط، وقال بمثلها فحول
من فقهاء الاُمَّة، وعلمائها المعتبرين، ويكفي فيها إنَّ رأينا صواباً
يحتمل الخطأ، ورأى غيرنا خطأ يحتمل الصواب، وهكذا في جميع المسائل الفرعية
والظنية منها، لأنها مسائل خلافية، والله أعلى وأعلم وإليه المصير.
“Sesungguhnya, masalah ini (melihat gambar wanita telanjang) adalah
masalah “furu’iyyah wa dhanniyyah” (cabang dan dhanniy), bukan termasuk
masalah-masalah ushul. Dengan demikian, masalah ini tunduk pada ijtihad,
bisa benar bisa salah; dan masing-masing diberi balasan di sisi Allah
swt; sebagaimana kami menjelaskannya pada topik-topik ikhtilaaf. Dan hal
ini tidak boleh dijadikan alasan untuk meragukan manusia, bahwa dengan
masalah ini mereka (orang yang membolehkan melihat gambar wanita
telanjang) telah keluar, keluar dari Islam; atau hukum-hukum ini (boleh
melihat gambar aurat) adalah hukum yang hina; atau dengan kata-kata keji
lain yang tidak boleh disematkan kepada kaum Muslim.
Ini disebabkan karena, sesungguhnya, hukum-hukum ini dirumuskan dengan
ijtihad dan istinbath; dan pendapat serupa juga diketengahkan oleh ulama
terkemuka dari kalangan fuqaha umat Islam dan ulama-ulama umat Islam
yang mu’tabar. Cukuplah dalam masalah ini dinyatakan bahwa, pendapat
kami benar namun masih mengandung kemungkinan salah, dan pendapat selain
kami salah namun masih mengandung kemungkinan benar. Demikian pula
dalam seluruh masalah-masalah furu’iyyah wa dhanniyyah, di antara adalah
masalah melihat gambar aurat wanita. Sebab, masalah ini adalah
persoalan-persoalan khilafiyyah. Wallahu A’la wa A’lam wa Ilaihi
al-Mashiir (Allahu Maha Tinggi dan Maha Paling Mengetahui dan kepadaNya
tempat kembali).
Kedua, Mayoritas ulama berpendapat bahwasanya melihat gambar wanita,
lebih-lebih lagi gambar wanita telanjang adalah haram. Alasannya,
aktivitas tersebut bisa mengantarkan kepada perbuatan haram. Mereka
menggunakan kaedah yang amat terkenal dan masyhur, al-wasilah ila
al-haraam haraam; sadd al-dzari’ah, maalat al-af’aal, dan lain
sebagainya. Al-‘Allamah Syaikh ‘Atha Abu Rasytah rahimahullah menyatakan
dalam Jawab Soal:
أما مشاهدة الأفلام المثيرة الإباحية فلا يجوز حتى وإن كانت صوراً وليست
أجساماً حقيقية، وذلك لأن القاعدة الشرعية في هذا الباب هي (الوسيلة إلى
الحرام حرام) ولا يشترط في هذه القاعدة أن تؤدي الوسيلة إلى الحرام قطعاً
بل غلبة الظن تكفي.وهذه الأفلام تقود غالباً من يحضرها إلى الحرام، ولذلك
فإن القاعدة تنطبق عليها.
“Adapun melihat film-film yang mempengaruhi syahwat (porno), maka tidak
boleh (haram), hingga, walaupun hanya sebatas gambar yang bukan
berbentuk badan yang hakiki. Ini didasarkan pada kaedah syar’iyyah yang
berbicara pada bab ini, yakni al-wasilah ila al-haraam haraam (wasilah
menuju haram adalah haram). Di dalam kaedah ini, wasilah yang
mengantarkan kepada keharaman tersebut tidak disyaratkan harus bersifat
pasti, akan tetapi cukup ghalabat al-dhann (sangkaan kuat). Film ini
(film porno) berdasarkan sangkaan kuat (ghalabat al-dhann) akan
mengantarkan orang yang melihatnya kepada keharaman. Oleh karena itu,
kaedah ini bisa diterapkan di atasnya (melihat film porno)”.[Lihat Jawab
Soal ‘Atha Abu Rasytah].
Pendapat serupa juga disebut dalam Majalah Al-Azhar, Edisi 3/393:
والذى تسكن إليه النفس ويطمئن له القلب هو أن النظر إلى المرأة الأجنبية
إنما كان محرما بسبب أنه داع وذريعة إلى الوقوع فيما هو أشد منه حرمة ،
وهو الوقوع فى المعصية الكبرى، وعليه فالنظر إلى المرأة الأجنبية المعينة
بواسطة المرآة بقصد الشهوة غير جائز، لأنه ذريعة إلى محرم ، ، و كل ما كان
كذلك فهو حرام ، سواء أكان ذلك مباشرة أم بواسطة المرآة ، انتهى “مجلة
الأزهر- المجلد الثالث ، صفحة 393″
“Yang menenangkan jiwa dan menentramkan hati adalah (pendapat yang
menyatakan) bahwasanya melihat wanita ajnabiyyah diharamkan karena ia
bisa mendorong dan mengantarkan pada terjadinya keharaman yang lebih
kuat dari pada (haramnya melihat), yakni terjadinya maksiyat kubra (dosa
besar). Oleh karena itu, melihat wanita ajnabiyyah tertentu dengan
perantara cermin dengan tujuan syahwat tidaklah diperbolehkan (haram).
Sebab, hal ini bisa mengantarkan kepada keharaman. Semua hal yang
seperti ini, maka hukumnya haram, sama saja apakah hal itu langsung
maupun dengan perantara cermin. Selesai.”
Di antara ulama-ulama yang membolehkan melihat gambar aurat –dari sisi
melihatnya saja– adalah Al-‘Allamah Syaikh Suwaikiy rahimahullah ta’ala.
Di dalam Kitab al-Khalaash wa Ikhtilaaf al-Naas, beliau menyatakan
bahwasanya hukum asal melihat (al-nadhr) adalah mubah; kecuali terdapat
dalil-dalil khusus yang melarangnya; seperti melihat aurat laki-laki
atau wanita; larangan melihat bagian tubuh wanita yang tidak termasuk
aurat jika disertai dengan syahwat; dan lain-lain. Menurut beliau,
kebolehan melihat gambar aurat didasarkan pada dalil-dalil umum. Di
dalam Kitab itu beliau juga membedakan hukum melihat aurat dengan hukum
melihat gambar aurat. Masih menurut beliau, nash-nash yang menerangkan
kewajiban ghadldl al-bashar berlaku hanya pada aurat itu sendiri, bukan
pada gambar aurat. Pandangan beliau yang membedakan hukum melihat aurat
itu sendiri dengan hukum melihat pantulan, atau bayangannya, sejalan
dengan pandangan ulama-ulama mu’tabar dari kalangan Hanafiyyah dan
Syafi’iyyah. Di dalam Kitab al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
disebutkan:
عَلَى أَنَّهُ قَدْ عُلِمَ مِنْ مَذْهَبِ الْحَنَفِيَّةِ دُونَ سَائِرِ
الْمَذَاهِبِ : أَنَّ الرَّجُل إِِذَا نَظَرَ إِِلَى فَرْجِ امْرَأَةٍ
بِشَهْوَةٍ ، فَإِِنَّهَا تَنْشَأُ بِذَلِكَ حُرْمَةُ الْمُصَاهَرَةِ ؛
لَكِنْ لَوْ نَظَرَ إِِلَى صُورَةِ الْفَرْجِ فِي الْمِرْآةِ فَلاَ
تَنْشَأُ تِلْكَ الْحُرْمَةُ ؛ لأَِنَّهُ يَكُونُ قَدْ رَأَى عَكْسَهُ لاَ
عَيْنَهُ . فَفِي النَّظَرِ إِِلَى الصُّورَةِ الْمَنْقُوشَةِ لاَ تَنْشَأُ
حُرْمَةُ الْمُصَاهَرَةِ مِنْ بَابٍ أَوْلَى . وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ :
لاَ يَحْرُمُ النَّظَرُ – وَلَوْ بِشَهْوَةٍ – فِي الْمَاءِ أَوِ
الْمِرْآةِ . قَالُوا : لأَِنَّ هَذَا مُجَرَّدُ خَيَال امْرَأَةٍ وَلَيْسَ
امْرَأَةً . وَقَال الشَّيْخُ الْبَاجُورِيُّ : يَجُوزُ التَّفَرُّجُ
عَلَى صُوَرِ حَيَوَانٍ غَيْرِ مَرْفُوعَةٍ . أَوْ عَلَى هَيْئَةٍ لاَ
تَعِيشُ مَعَهَا ، كَأَنْ كَانَتْ مَقْطُوعَةَ الرَّأْسِ أَوِ الْوَسَطِ ،
أَوْ مُخَرَّقَةَ الْبُطُونِ . قَال : وَمِنْهُ يُعْلَمُ جَوَازُ
التَّفَرُّجِ عَلَى خَيَال الظِّل الْمَعْرُوفِ ؛ لأَِنَّهَا شُخُوصٌ
مُخَرَّقَةُ الْبُطُونِ .
“Hanya saja, sesungguhnya telah diketahui dari madzhab Hanafiyyah,
berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain, bahwasanya seorang laki-laki,
jika melihat farji wanita dengan syahwat, maka lahir dengan hal itu
hurmat al-mushaharah . Jika Akan tetapi jika ia melihat gambar farji
wanita di dalam cermin, maka hal itu tidak melahirkan al-hurmah. Sebab,
ia hanya melihat bayangan farji, bukan farji itu sendiri. Lebih-lebih
lagi melihat lukisan (farji) maka hal itu tidak melahirkan hurmat
al-mushaharah . [Haasyiyyah Ibnu ‘Abidin, Juz 2/281 dan 5/238; lihat
Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz 12/123], Menurut kalangan
Syafi’iyyah, tidak haram melihat –meskipun dengan syahwat— di dalam air
atau cermin. Mereka menyatakan, “Sebab, hal itu hanyalah bayangan
wanita, bukan wanita itu sendiri. Syaikh al-Bajuriy berkata, “Boleh
melihat gambar hewan yang tidak utuh, atau pada bentuk yang tidak
mungkin hidup jika hanya dengan anggota tubuh itu saja, seperti
terpotong kepalanya, tengahnya, atau perutnya berlubang”. Beliau
berkata, “Darinya diketahui kebolehan melihat bayangan seseorang, sebab
bayangan adalah sosok yang perutnya berlubang (tidak ada
isinya).[Al-Qalyubiy ‘Ala Syarh al-Minhaaj, Juz 3/208, dan Haasyiyyah
al-Baajuuriy ‘Ala Ibn al-Qaasim, Juz 2/99, 131; lihat lihat Al-Mausuu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz
12/123-124]
*
Al-‘Allamah Syaikh Mohammad al-Syuwaikiy rahimahullah berkata:
فقد قال الكمال ابن الهمام – رحمه الله – (1) في مثل هذه المسألة ما نصه
” النظر من وراء الزجاج إلى الفرج محرَّم، بخلاف النظر في المرآة، ولو
كانت في الماء ونظر فيه فرأى فرجها فيه ثبتت الحرمة، ولو كانت على الشط
فنظر في الماء فرأى فرجها لا يحرم، كان العلة والله أعلم أنَّ المرئي في
المرآة مثاله لا هو، وبهذا علَّلوا الحنث فيما إذا حلف لا ينظر في وجه
فلان، فنظره في المرآة أو الماء، وعلى هذا فالتحريم به من وراء الزجاج
بناءً على نفوذ البصر منه، فيرى نفس المرئي، بخلاف المرآة والماء”. ومثاله
فيه لا عينه، ويدل عليه تعبير قاضيخان (2) بقوله لأنه لم يرَ فرجها، وإنما
رأى عكس فرجها فافهم”.فإذا كان النظر في الماء والمرآة مع رؤية فرج امرأة
انعكس فيهما خيالاً جائز عند هؤلاء العلماء لأنَّ المرئي مثاله لا حقيقته،
فأقول بأنَّ النظر إلى الصورة هو نظر إلى ظل الشيء، وهو مثاله لا حقيقته
ولا عينه، وهو غير النظر في الماء، أو المرآة لأنَّ الصورة اشد خيالاً من
الماء والمرآة.وعليه فالأدلة على تحريم النظر إلى العورة لا تنطبق على
الصورة
“Al-Kamaal Ibn al-Hammam rahimahullah ta’ala menyatakan berkaitan dengan
masalah ini sebagai berikut, “Melihat farji dari balik kaca transparan
diharamkan. Ini berbeda dengan melihat di dalam cermin. Jika seorang
wanita berada di dalam air, lalu ada seorang laki-laki melihat ke
dalamnya dan melihat farji wanita itu, maka berlakulah al-hurmah
(maksudnya hurmat al-mushaharah). Seandainya wanita itu berada di tempat
jauh, lalu laki-laki itu melihat ke dalam air, dan melihat farji wanita
itu, maka tidaklah diharamkan (al-musharah). ‘Illatnya, hanya Allah
yang lebih mengetahui, adalah orang yang ada di dalam cermin adalah
bayangannya, bukan orang itu sendiri. Dengan inilah mereka bisa
beralasan menyelisihi sumpah jika ia diminta untuk bersumpah tidak
melihat wajah si fulan, tetapi melihat (bayangan) di dalam cermin atau
di dalam air. Atas dasar itu, pengharaman (al-mushaharah) karena melihat
farji perempuan dari balik kaca transparan didasarkan pada alasan bahwa
mata bisa menembus kaca, sehingga ia bisa menyaksikan sosok orang itu
sendiri. Ini berbeda dengan cermin atau air; maka bayangan di dalamnya
bukanlah orang itu sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan
Qadlihaan dalam perkataannya, “Sebab, ia tidak melihat farji wanita,
tetapi ia melihat bayangan farjinya, maka fahamlah”. Dengan demikian,
melihat di dalam air dan cermin, bersamaan dengan melihat bayangan farji
wanita yang terpantul di dalamnya adalah boleh menurut ulama ini.
Sebab, yang dilihat adalah bayangannya, bukan orangnya sendiri. Maka,
saya menyatakan bahwasanya melihat gambar adalah melihat bayangan
sesuatu. Sedangkan bayangan adalah cerminannya, bukan hakekat maupun
sesuatu itu sendiri. Melihat gambar berbeda dengan melihat di dalam air
dan cermin. Sebab, gambar itu khayalnya lebih kuat dibandingkan
(pantulan yang ada di dalam) air dan cermin. Atas dasar itu, dalil-dalil
yang menjelaskan pengharaman melihat aurat tidak bisa diterapkan pada
gambar”.[Al-‘Allamah Mohammad Syuwaikiy, al-Khalaash wa Ikhtilaaf
al-Naas, hal. 259]
Beliau juga menolak penggunaan kaedah al-wasilah ila al-haraam untuk
mengharamkan melihat gambar aurat. Menurut beliau, kaedah ini tidak bisa
diterapkan pada kasus melihat gambar aurat wanita. Beliau juga
menangkis beberapa argumen yang ditujukan untuk melemahkan pendapat
beliau. Semua itu beliau jelaskan dengan gamblang di dalam Kitab
al-Khalaash wa Ikhtilaaf al-Naas.
Hanya saja beliau mengingatkan bahwasanya kebolehan melihat gambar aurat
wanita atau laki-laki –dari sisi melihat itu sendiri– tidak berarti;
(1) bolehnya menggambar dan membuat gambar atau video wanita atau
laki-laki yang menyingkap auratnya, sebagian maupun keseluruhan;
meskipun dengan menggunakan alat-alat fotografi. Sebab, semua aktivitas
ini jelas-jelas haram; (2) juga tidak berarti bolehnya
memperjualbelikan, menyebarkan, atau membuat majalah, program tv, atau
sinema yang di dalamnya terdapat pornoaksi maupun pornografi. Sebab, hal
ini sama saja menyebarkan peradaban dan tsaqafah barat yang benar-benar
merusak akhlaq dan sendi-sendi masyarakat. Siapa saja yang
melakukannya, maka ia telah terjatuh kepada kemaksiyatan dan wajib
dikenai sanksi yang berat.
Masih menurut beliau, hukum melihat gambar aurat ini ditetapkan akibat
lenyapnya Daulah Islamiyyah. Adapun di era Daulah Khilafah Islamiyyah,
tidak akan pernah ditolerir kegiatan-kegiatan yang menjurus pada
pornografi dan pornoaksi. Siapa saja yang membuat, menyebarluaskan,
serta terlibat dalam pembuatan gambar dan video porno akan dikenai
sanksi yang sangat berat.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya masalah
melihat gambar aurat masih diperselisihkan di kalangan ulama.
Ketiga, dalam masalah ini (melihat gambar dan video porno), sikap
al-faqir sejalan dengan pandangan dan sikap amir Hizbut Tahrir yang
mulia, Al-‘Allamah al-Faadlil Syaikh ‘Atha Abu Rasytah rahimahullah.
Al-faqir percaya bahwasanya apa yang difatwakan Al-‘Allamah Syaikh ‘Atha
Abu Rasytah rahimahullah adalah fatwa yang lurus, bersih, dan terjauh
dari syubhat. Oleh karena itu, Al-faqir mengikuti dan mengadopsi
pendapat yang diketengahkan al-‘Alim al-‘Allamah Syaikh Atha` Abu
Rasytah hafidhahullah ta’ala. Al-‘Allamah Syaikh ‘Atha Abu Rasytah
rahimahullah menyatakan:
أما مشاهدة الأفلام المثيرة الإباحية فلا يجوز حتى وإن كانت صوراً وليست
أجساماً حقيقية، وذلك لأن القاعدة الشرعية في هذا الباب هي (الوسيلة إلى
الحرام حرام) ولا يشترط في هذه القاعدة أن تؤدي الوسيلة إلى الحرام قطعاً
بل غلبة الظن تكفي.وهذه الأفلام تقود غالباً من يحضرها إلى الحرام، ولذلك
فإن القاعدة تنطبق عليها.
“Adapun melihat film-film yang mempengaruhi syahwat (porno), maka tidak
boleh (haram), hingga, walaupun hanya sebatas gambar yang bukan
berbentuk badan yang hakiki. Ini didasarkan pada kaedah syar’iyyah yang
berbicara pada bab ini, yakni al-wasilah ila al-haraam haraam (wasilah
menuju haram adalah haram). Di dalam kaedah ini, wasilah yang
mengantarkan kepada keharaman tersebut tidak disyaratkan harus bersifat
pasti, akan tetapi cukup ghalabat al-dhann (sangkaan kuat). Film ini
(film porno) berdasarkan sangkaan kuat (ghalabat al-dhann) akan
mengantarkan orang yang melihatnya kepada keharaman. Oleh karena itu,
kaedah ini bisa diterapkan di atasnya (melihat film porno)”.[Lihat Jawab
Soal ‘Atha Abu Rasytah]
Inilah pendapat Syaikh Atha’ rahimahullah yang al-Faqir ikuti dan
teladani. Setelah bayan ini, jika ada tulisan, apapun bentuknya, yang
bertentangan fatwa dan pandangan di atas, baik yang diatasnamakan
al-faqir atau bukan, maka al-faqir berlepas diri darinya; dan menyatakan
bahwasanya itu bukan pendirian dan pendapat al-faqir.
Al-Faqir juga ingin menegaskan bahwasanya:
gambar dan film porno merupakan salah satu wasilah yang digunakan oleh
musuh-musuh Islam dan kaum Muslim untuk menjajakan paham kebebasan
(liberalisme) yang jelas-jelas bertentangan dengan ‘aqidah dan syariah.
Gambar dan film porno juga digunakan sebagai media untuk menghancurkan
akhlaq dan moral generasi umat Islam.
membuat, mengedarkan, dan mempropagandakan gambar dan film porno
merupakan kemaksiyatan yang wajib dihukum seberat-beratnya. Begitu pula
membuat undang-undang yang melegalkan pornografi dan pornoaksi, maka
tidak ada keraguan sedikitpun bahwa hal ini adalah perbuatan haram, dan
pelakunya layak mendapatkan kehinaan dan siksa dari Allah swt.
Keempat, karena masalah ini termasuk dalam ranah khilafiyyah, maka
al-faqir menghimbau kepada ikhwaniy wa akhwatiy fillah untuk tidak
menyematkan kata-kata yang tidak pantas kepada siapa saja yang memiliki
pendapat dan pandangan yang berbeda. Adalah sebuah kebodohan dan
ketidakberadaban jika seseorang menyematkan predikat keji atau
mengesankan kesesatan kepada saudara-saudara Muslim yang berbeda
pandangan dengannya dalam masalah-masalah furu’iyyah wa dhanniyyah,
termasuk di dalamnya ikhtilaaf mengenai boleh tidaknya melihat gambar
aurat wanita dan laki-laki, baik sebagian maupun keseluruhan.
Al-Faqir masih ingat saat Majalah Sabili No:21 TH XVII, 13 Mei 2010,
menurunkan tulisan Lutfi A Tamimi, dengan judul Menguak Hizb at-Tahrir.
Di dalam tulisan itu dikesankan bahwasanya pendapat fikih Hizbut Tahrir
adalah sesat dan menyesatkan. Lutfiy A Tamimi mengutip statement Hizbut
Tahrir tidak lengkap untuk mengesankan kesesatan Hizbut Tahrir. Di
antaranya adalah pandangan Hizbut Tahrir bahwasanya negara Islam
diperbolehkan menyerahkan jizyah (upeti) kepada negara kafir. Lutfi A
Tamimi menulis tidak dengan redaksi yang utuh, “Negara Islam
diperbolehkan membayar jizyah (upeti) kepada negara kafir”. Yang benar,
Hizbut Tahrir berpendapat bahwa dalam keadaan darurat Daulah Islamiyyah
boleh meminta damai dengan kaum kafir dengan menyerahkan sejumlah harta
kepada mereka. Pendapat ini juga dikesankan seolah-olah menyimpang dari
Islam. Padahal, para fukaha empat madzhab telah membahas masalah ini
dalam kitab-kitab mereka, dan mereka membolehkan menyerahkan harta
kepada negara kafir dalam keadaan darurat. Di dalam Kitab Badaai’ ash
Shanaai’ (Kitab Fikih Madzhab Hanafi) disebutkan:
وَلَا بَأْسَ أَنْ يَطْلُبَ الْمُسْلِمُونَ الصُّلْحَ مِنْ الْكَفَرَةِ
وَيُعْطُوا عَلَى ذَلِكَ مَالًا إذَا اُضْطُرُّوا إلَيْهِ ؛ لِقَوْلِهِ –
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – {وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا }
“Tidak mengapa kaum Muslim meminta perjanjian damai dari orang kafir
yang untuk itu, kaum Muslim harus menyerahkan sejumlah harta, jika
keadaannya darurat”, berdasarkan firman “Wa in janahuu lis salmi fajnah
lahaa”. [Badaai' ash Shanaai' fi Tartiib Asy-Syaraai', juz 15, hal. 316]
Di dalam Kitab Qawaaniin al-Ahkaam asy-Syar’iyyah (Kitab Fikih Madzhab Malikiy) disebutkan:
أن من شروط جواز الصلح مع الكفار _خلوه عن شروط فاسد, و مثلوا للشروط الفاسد, بنحو: بذل مال لهم فى غير خوف. و يجوز مع الخوف
“Sesungguhnya, di antara syarat bolehnya melakukan perjanjian damai
dengan orang-orang kafir –adalah kosong dari syarat-syarat fasid, dan
mereka mencontohkan syarat-syarat fasid ini, adalah menyerahkan harta
kepada mereka tidak dalam keadaan takut (darurat). Dan boleh menyerahkan
harta jika dalam keadaan takut”.[Qawaaniin Al-Ahkaam Asy-Syar'iyyah,
hal. 175]
Pendapat senada juga dikemukakan ulama kalangan Madzhab Syafi’iy dan
Hanbaliy. Lalu, mengapa ada orang yang berusaha mengesankan bahwa
pendapat itu adalah pendapat sesat dan menyimpang dari Islam? Padahal,
pendapat ini adalah pendapat para fukaha mu’tabar? Barangkali, itu
dilakukan karena kebodohannya terhadap khazanah fikih Islam, sehingga
pendapat ulama mu’tabar dikesankan sebagai pendapat yang sesat dan
menyesatkan. Sebagian orang-orang yang bodoh terhadap keluasaan fikih
Islam juga mengesankan kesesatan atas pandangan Hizbut Tahrir terhadap
hadits ahad dan qadla’ & qadar. Padahal, siapa saja yang mampu
menyelami kedalaman tsaqafah Islamiyyah dan sanggup melalui rumitnya
istinbath dan ijtihad, maka ia akan memahami bahwa pandangan Hizbut
Tahrir dalam dua masalah itu adalah pandangan rajih yang dipegang oleh
ulama-ulama salafush shalih.
Khatimah
Alhamdulillah, berkat pertolongan dan ijin dari Allah swt, syabab Hizbut
Tahrir yang mukhlish mampu melewati semua fitnah itu, dan tetap fokus
dalam perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyyah demi tegaknya syariat
Islam secara menyeluruh dan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan kaum
Muslim di seluruh dunia. Dan alhamdulillah pula, hingga detik ini para
syabab Hizbut Tahrir tetap menjunjung tinggi kehormatan kaum Muslim,
tidak mudah diadu domba atau mengadu domba, tegas dalam ’aqidah, tasamuh
dalam khilafiyyah, membina dan mencerdaskan umat hanya dengan tsaqafah
Islamiyyah, serta terus berusaha menyatukan umat dalam bingkai
perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah Islamiyyah.
Akhir kalam, al-faqir berdoa memohon kepada Allah swt, Dzat Yang Maha
Tinggi, Maha Lembut, Maha Mulia, Maha Mengetahui yang tampak dan
tersembunyi, dan Maha Mendengar doa-doa hamba-hambaNya:
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْـأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ عَاجِلِهِ
وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْناَ مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ، وَنَعُوْذُ بِكَ
مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ، عَاجِلِهِ وَآَجِلِهِ مَا عَلِمْناَ مِنْهُ وَمَا
لَمْ نَعْلَمْ ، اللهُمَّ إِنَّا نَسْـأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا سَأَلَكَ
عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَاذَ مِنْهُ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ،
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْـأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ
قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ
إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، نَسْـأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ
قَضَاءٍ تَقْضِيهِ لَنَا خَيْرًا
“Yaa Allah, kami memohon kepadaMu, seluruh kebaikan untuk kami, baik
sekarang maupun yang akan datang, baik yang kami ketahui maupun yang
tidak kami ketahui. Dan kami memohon perlindungan dariMu dari semua
keburukan, baik sekarang maupun yang akan datang, baik yang kami ketahui
maupun yang tidak kami ketahui. Yaa Allah, kami memohon kepadaMu semua
kebaikan yang pernah diminta oleh hambaMu dan NabiMu, Mohammad saw, dan
kami memohon perlindungan dariMu dari semua keburukan yang hambaMu dan
NabiMu pernah memohon perlindungan darinya. Yaa Allah, kami memohon
surga kepadaMu serta perkataan dan perbuatan yang bisa mendekatkan kami
kepada surga, dan kami memohon perlindungan dariMu dari siksa neraka,
dan dari semua perkataan dan perbuatan yang bisa mendekatkan kami kepada
neraka; dan kami memohon dengan tulus ikhlash agar Engkau menjadikan
semua yang Engkau tetapkan untuk kami, sebagai sebuah kebaikan bagi
kami”.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا
، وَ أَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا ، وَ
أَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَادُنَا ، وَ اجْعَلِ
الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِي كُلِّ خَيْرٍ ، وَ اجْعَلِ الْمَوْتَ
رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلَّ شَرٍّ
“Yaa Allah, perbaguslah agama kami yang menjadi penjaga urusan-urusan
kami, dan perbaguslah dunia kami yang menjadi tempat penghidupan kami,
dan perbaguslah akherat kami yang akan menjadi tempat kembali kami, dan
jadikanlah hidup kami sebagai wahana untuk menambah kebaikan-kebaikan
kami, dan jadikanlah kematian sebagai istirahat kami dari semua
keburukan-keburukan.
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ ،
وَالْجُبْنِ ، وَ اْلـبُخْلِ ، وَ الْهَرَمِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ ،
اَللَّهُمَّ آتِ نَفْسَناَ تَقْوَاهَا وَزَكَّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنِ
زَكَّاهَا أَنْتَ وِلِيُّهَا وَ مَوْلاَهَا
“Yaa Allah, kami memohon perlindungan dariMu, dari semua sikap lemah,
malas, pengecut, kikir, dan kepikunan, dan kami memohon perlindunganMu
dari siksa kubur. Yaa Allah, jadikan jiwa kami, jiwa yang bertaqwa dan
suci. Sesungguhnya, Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang bisa menyucikan
jiwa, dan Engkau adalah pemilik dan pelindung semua jiwa.
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعْ ، وَ مِنْ
قَلْبٍ لاَ يَخْشَعْ ، وَ مِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعْ ، وَ مِنْ دَعْوَةٍ لاَ
يُسْتَجَابُ لهَاَ
“Yaa Allah, kami memohon perlindunganMu dari ilmu yang tidak bermanfaat,
dari hati yang tidak tunduk dan patuh kepadaMu, dari jiwa yang tidak
pernah merasa puas dengan urusan dunia, dan kami memohon perlindungan
dariMu dari doa yang tidak diijabah
اَللَّهُمَّ إِناَّ نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زِوَالِ نِعْمَتِكَ، وَ
تَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ ، وَ فُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ ، وَ جَمِيْعِ سُخْطِكَ
“Yaa Allah, kami memohon perlindungan dariMua, dari lenyapnya nikmatMu
yang telah Engkau berikan kepada kami, dan kami berlindung kepadaMu dari
hilangnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan kepada kami, dan kami
berlindung kepadaMu dari siksaanMu yang Engkau timpakan kepada kami
secara tiba-tiba; dan kami memohon perlindunganMu dari kemarahan dan
kemurkaanMu.
اَللَّهُمَّ إِنّاَ نَعُوْذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ الْبَلاَءِ، وَ دَرْكِ الشَّقَاءِ ، وَ سُوْءِ الْقَضَاءِ وَ شَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ.
“Yaa Allah, kami berlindung kepadaMu dari beratnya ujian, kemalangan
yang datang silih berganti, qadla’ yang buruk dan kegembiraan
musuh-musuh atas penderitaan kami”.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعاً مَرْحُوْماً، وَ
تَفَرُّقَناَ مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا وَ لاَ تَجْـعَلْ
فِيْنَا وَ لاَ ِمنَّا وَ لاَ مَعَناَ شَقِياً أَوْ مَحْرُوْماً
.اَللَّهُمَّ اهْدِنَا وَاهْدِ بِنَا وَ اجْعَلْناَ سَبَبًا لِمَنِ
اهْتَدَى
“Yaa Allah, jadikanlah pertemuan kami ini, pertemuan yang dirahmati, dan
jadikan perpisahan kami setelah ini, perpisahan yang dilindungi dari
dosa, dan janganlah Engkau jadikan kami, atau dari kami, atau orang yang
bersama kami, kesengsaraan dan kemiskinan. Yaa Allah, berilah petunjuk
kepada kami, dan berilah petunjuk hamba-hambaMu dengan perantara kami,
dan jadikanlah kami menjadi sebab bagi orang-orang yang mendapatkan
petunjukMu
يَا مُصَرِّفَ اْلقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلىَ طَاعَتِكَ, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ
“Wahai Dzat Yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk selalu
taat kepadaMu. Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati
kami untuk selalu berjalan di atas agamaMu
اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَ ارْزُقْناَ اتِّبَاعَهُ وَ أَرِناَ الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَ ارْزُقْناَ اجْتِنَابَهُ
“Yaa Allah, tunjukkanlah kepada kami, yang benar itu benar, dan berilah
kami kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami, yang
bathil itu bathil, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya”.
Amiin Yaa Mujibas Saailiin. Wallahu al-Musta’an wa Huwa Waliyu al-Taufiq.
Wassalaamu’alaikum wr wb.
Depok, hari keempat bulan Rajab yang mulia
Al-Faqir ila Al-Allah
Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy
(Abu Mohammad Asad Zain Al-Sakhawiy)
[www.al-khilafah.org]
0 komentar:
Posting Komentar