Ma’asyirol muslimin jamaah jumah rahimakumullah…
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kita nikmat Iman
dan Islam sehingga berkat hidayah ‘inayah serta taufiq Nya hingga saat
ini kita selalu dapat menjalankan syariat-syariat yang telah digariskan
olehNya salah satunya dengan menjalankan ibadah wajib berupa sholat
jum’at yang sedang kita laksanakan saat ini.
Sholawat ma’as
salam sudah seharusnya tak henti-hentinya kita haturkan ke haribaan
junjungan kita, Pamungkas para Nabi dan Rasul sekaligus pemberi syafaat
kepada ummatnya di hari kiamat nanti, Rasulullah Muhammad SAW. Semoga
kita termasuk di dalam golongan orang-orang yang akan mendapat syafaat
beliau. Amin yaa robbal alamin.
Selanjutnya untuk mengawali
khutbah singkat izinkan khotib berwasiat kepada diri khotib khususnya
dan kepada hadirin jamaah sholat jum’ah umumnya untuk selalu bertaqwa
dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan sebenar-benar
taqwa, dengan melaksanakan segala perintah Allah dengan ikhlas sekaligus
menjauhi segala yang tidak disukai oleh Allah serta meninggalkan segala
seusuatu yang dilarang oleh Allah SWT, seraya berharap kita dapat
mengakhiri hidup yang hanya sementara ini dengan husnul khotimah.
Ma’asyirol muslimin jamaah jumah rahimakumullah…
Akhir-akhir ini kaum muslimin dihadapkan dengan sebuah ujian berat
berupa ancaman perpecahan mengatasnamakan perbedaan aliran, syariat,
bahkan perbedaan aqidah. Sadar atau tidak sadar, hal ini sudah
seharusnya kita hindari, karena jika kita terlena terhadap
perbedaan-perbedaan tersebut maka umat muslim sendiri lah yang akan
menanggung segala akibatnya, dan akan semakin membuat musuh-musuh Islam
tertawa dan berpesta serta semakin memojokkan posisi kaum muslimin.
Perbedaan-perbedaan tersebut semakin hari kian meruncingkan masalah
dengan saling mempersalahkan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh
ada suatu golongan yang mencibir amaliah golongan lain dengan menganggap
apa yang tidak sesuai dengan yang mereka kerjakan serta mereka yakini
adalah sebuah perbuatan bid’ah yang ganjarannya adalah neraka. Lebih
parahnya lagi mereka yang mencibir tidaklah sepenuhnya memahami apa yang
mereka pedomani. Mereka bahkan tidak mau menerima argument dari
golongan lain serta menganggap paham mereka lah yang paling benar. Oleh
karenanya dalam kesempatan yang singkat ini khotib akan sedikit mengulas
tentang fasal bid’ah berserta dasar-dasar hokum yang berkaitan dengan
bid’ah, khotib berharap dengan pemaparan ini kita semua dapat membuka
hati kita untuk lebih dapat menerima pandangan orang lain, membuka
cakrawala pemikiran kita bahwa ada pendapat mengenai bid’ah dengan versi
lain dari apa yang pernah kita ketahui dan kita yakini, sehingga
kedepan kita tidak terjebak dalam perdebatan-perdebatan tidak berujung.
Ma’asyirol muslimin rahimakumullah…
Dalam kamus Al Munawir kata بِدْعَةٌ yang merupakan jama’ dari kata
بِدَعٌsecara lughowi diartikan sebagai “perkara baru dalam agama”.
Sedangkan secara istilahi terdapat bermacam-macam makna diantaranya
seperti yang termaktub dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya
Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari. Dalam kitab tersebut istilah "bid’ah"
ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Syeikh Hasyim
Asy’ari, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah
secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian
mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik
formal maupun hakekatnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW yang
terdapat dalam kitab Riyadlus Sholihin Hal. 62 disebutkan :
عَنْ أُمِّ اْلمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ الله
عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :
مَنْ أَحْدَثَ فىِ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. (متفق
عليه)
Artinya : ”Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam
urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka
perkara tersebut tertolak”.
Nabi juga bersabda yang termaktub dalam kitab Riyadlus Solihin hal. 62:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله, وَ خَيْرَ
الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, وَ شَرَّ
اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا, وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه مسلم
Yang artinya : ”Amma ba’du, maka sesungguhnya perkataan yang paling
baik adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad,
dan seburuk-buruk perkara adalah hal yang baru dan setiap bid’ah adalah
sesat”.
Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti
bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena
mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai
dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’). Al Imam Al Hafiz
Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa perbuatan bid’ah yang
dimaksud dalam hadist tersebut adalah hal-hal yg tidak sejalan dengan
Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu
‘anhum.
Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah SWT:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ ...الأية
Yang artinya : “Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).
Ma’asyirol muslimin rahimakumullah…
Terdapat sebuah hadist Nabi juga yang berbunyi كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ
لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ yang artinya : “Semua bid’ah itu
adalah sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Jika kita memahami
redaksi hadist ini secara lafdziah maka sudah pasti dapat diambil
kesimpulan bahwa segala sesuatu yang baru dalam agama (dalam hal ini
segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman nabi) adalah bid’ah, dan
setiap bid’ah sudah pasti sesat dan setiap kesesatan tempatnya di
neraka.
Namun demikian, mari coba kita kaji dari sudut pandang
ilmu balaghogh. KH. A.N. Nuril Huda, dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah
(Aswaja) Menjawab" menjelaskan kajian terhadap hadist tersebut Menurut
ilmu balaghogh. Dalam kajian ilmu balaghogh disebutkan bahwa setiap
benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak
bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang
dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan
satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda
itu baik, mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek;
kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama
dikatakan duduk. Bid’ah itu merupakan kata benda, yang sudah barang
tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin
saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak
ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas. Hal seperti ini dalam
Ilmu Balaghah dikatakan; حدف الصفة على الموصوف yaitu “membuang sifat
dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka akan
terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama; كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ
ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ Yang artinya : “Semua bid’ah
yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”. Hal ini tidak
mungkin, bagaimana bisa sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda
dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang
bisa dipastikan kemungkinan yang kedua; كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ
لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر Yang artinya : “Semua bid’ah yang
jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.
Hal yang
sama dengan kajian ilmu balaghogh diatas terjadi pula dalam Al-Qur’an,
Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya pada QS Al-Kahfi :
79 yang berbunyi :
وَكَانَ وَرَاءهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْباً ﴿٧٩﴾
artinya: “Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”.
Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal
jelek; karena dalam kondisi normal kapal yang jelek tidak akan diambil
oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan
sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة
حسنة.
Kemudian kajian lain terhadap hadist tersebut adalah
pendapat dari Al-Imam Al-Hafidz Al-Nawawi yang menyatakan dalam kitab
Syarh-nya atas kitab Shohih Muslim, bahwa kata كل adalah bermakna
sebagian besar bukan bermakna seluruh, sehingga hadist itu oleh beliau
dimaknakan “sebagian besar perbuatan bid’ah itu adalah sesat”. Pemaknaan
lafadz كل dengan makna sebagian juga terdapat dalam kajian ilmu
lughotil arobiyah.
Ma’asyirol muslimin rahimakumullah…
Bertolak dari paparan terkait dengan pengertian bid’ah sebagaimana telah
khotib uraikan diatas, Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu
yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW pasti
jeleknya? Jawaban yang bijaksana adalah, belum tentu! Ada dua
kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan
kapan bid’ah itu jelek?. Khotib akan mengutip 2 pendapat ulama’ besar
yang mewakili 2 zaman berbeda yaitu Imam Syafi’i dari kalangan ulama
salaf dan Prof. Dr. As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani dari
kalangan ulama kholaf. Menurut Imam Syafi’i:
اَلْبِدْعَةُ
ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ
مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
Yang artinya :
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai
dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan
sunnah itulah yang tercela”.
Sedangkan menurut sebuah kutipan
yang dinukil dari sebuah kitab yang berjudul : Dzikrayaat wa Munaasabaat
karya Prof. Dr. As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani yang
dialih bahasakan oleh KH. Muhammad Bashori Alwi dalam sebuah bukunya
disebutkan : bukan semua yang tidak diamalkan oleh ulama’ salaf dan
belum terjadi pada masa pertama (zaman nabi) itu adalah bid’ah yang
diingkari lagi jelek, yang diharamkan orang melakukannya dan wajib
diingkarinya. Tetapi hal-hal baru yang terjadi itu haruslah dihadapkan
kepada dalil-dalil syar’i. Lantas apa yang mengandung maslahat hukumnya
adalah wajib. Atau yang mengandung keharaman maka hukumnya haram. Atau
yang mengandung kemakruhan maka hukumnya makruh. Atau yang mengandung
kemubahan maka hukumnya mubah. Atau yang mengadung mandub (sunnah) maka
hukumnya adalah mandub (sunnah).
Hal
ini juga diperkuat oleh hadist Nabi yang termaktub dalam kitab Riyadlus Sholihin Halaman 63 yang berbunyi :
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ
شَيْئٌ, وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ
وِزْرُهَا وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِاَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئٌ. رواه مسلم
Yang artinya :
“Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka
ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak
mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang
mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan
dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa
mereka sedikit pun”.
Dan hadist Nabi yang lain yang termaktub dalam kitab Sunan Ibnu Majah Juz I hal. 414 :
إِنَّ أُمَّتِي لَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ
اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. رواه ابن ماجة عن انس
ابن مالك
Yang artinya : “Bahwa ummatku tidak akan sepakat dalam
kesesatan, bila kamu melihat perbedaan pendapat diantara kalian, maka
ikutilah pendapat mayoritas”. HR Ibnu Majah dari Anas bin Malik.
Dalam Kitab Fathul Bari dijelaskan : "Pada mulanya, bid'ah dipahami
sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam
pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena
itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai
dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika
bi’ah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika
tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah:
boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai
dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".
Dari semua
pembahasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa secara garis
besar bid’ah dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu : Bid’ah Hasanah dan
Bid’ah Sayyiah. Dan untuk mengkategorikan sebuah perbuatan bid’ah itu
tergolong hasanah atau sayyiah maka diperlukan kajian mendalam dengan
berdasarkan dalil-dalil syar’i baik qoth’i maupun dzonny dengan tetap
mempertimbangkan maqoshid asy syar’iyyah dari perbuatan-perbuatan yang
dinilai bid’ah tersebut.
Ma’asyirol muslimin rahimakumullah…
Sebelum khotib mengakhiri khutbah siang hari ini perlu kiranya bagi
khotib untuk memberikan beberapa contoh perbuatan bid’ah yang pernah
dilakukan sahabat-sahabat terdekat nabi yang termasuk khulafaur
rasyidin, perbuatan-perbuatan dimaksud adalah :
1. Pembukuan
Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina
Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.
2. Pemberian
titik-titik dan syakal/baris-baris pada tulisan Al Qur’an yang baru
dilakukan pada masa kekholifahan Sayyidan Ustman bin Affan.
3.
Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan
semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala
Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih
berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".
4.
Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua
kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-¬nya
bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain
itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat
di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.
Dari keempat contoh diatas, mari kita focus terhadap dua contoh pertama
yang tentunya yang tidak pernah diperdebatkan yaitu mengenai kodifikasi
(pembukuan) Al Qur’an dan pemberian titik-titik dan syakal pada tulisan
Al Qur’an. Kedua hal tersebut merupakan contoh konkrit bid’ah hasanah,
karena pada zaman Rasulullah SAW Al Qur’an hanya dihafal atau
setidak-tidaknya ditulis di pelepah-pelepah kurma dan juga batu-batu
(tanpa titik dan tanda baca) dalam keadaan tercerai berai, tidak
tersusun sistematis dalam bentuk surat-surat dan Juz-juz seperti yang
kita jumpai pada mushaf Al Qur’an yang ada saat ini. Bagaimana jadinya
jika Al Qur’an baik secara tulisan maupun penggandaan kondisinya masih
tetap seperti pada zaman Rasulullah SAW. Jika hal itu terjadi khotib
rasa akan sulit bagi orang Indonesia khususnya membedakan apakah itu
merupakan huruf (ب, ت, atau ي) dan itu akan berakibat fatal dengan
berubahnya makna dari ayat yang dibaca. Terhadap kasus kodifikasi Al
Qur’an ini apakah masih ada yang menggap ini adalah dlolalah (sesat)?
Akhirnya untuk menutup khutbah pada siang hari ini, khotib mengajak
kepada diri khotib pribadi dan para jamaah sekalian untuk selalu
berpikir jernih dan tidak mudah memperolok orang atau golongan lain
terhadap amaliah yang mereka kerjakan selama amalan itu memiliki dasar
hukum. Jangan bersifat sombong dengan beranggapan bahwa amaliah yang
kita lakukan adalah yang paling benar dan telah sesuai dengan sunnah
Rasul, karena sifat sombong adalah hanya milik Allah SWT. Mari kita
berpikir ‘arif menyikapi setiap perbedaan yang terjadi diantara kita.
Jangan jadikan perbedaan menjadi pemicu perpecahan. Mari kita ingat
sebuah pesan Rasulullah SAW bahwasannya perbedaan yang terjadi pada
ummatku adalah sebuah rahmat, tentunya pesan Nabi tersebut hanya berlaku
bagi orang-orang yang mau berfikir, sedangkan bagi orang-orang yang
malas berfikir sudah barang tentu perbedaan akan menghadirkan perpecahan
ummat. Semoga kita selalu diberi petunjuk oleh Allah SWT dan selalu
berada dalam naungan rahmat dan rahimNYA, dan mendapat syafaat baginda
Rasulullah SAW di hari akhir nanti. Amin. Wallahu a’lam bisshowaab.
http://www.nu.or.id/
Postingan Terkait Lainnya :
0 komentar:
Posting Komentar