Sabtu, 09 Oktober 2010

Diiringi dentuman M.O.G.S.A.W - Purgatory

Mimpi. Entah kenapa, mengingat mimpi itu, kerinduanku seringkali membuncah.

Siang itu, nyatalah aku masih kecil. Ada sesuatu yang tak biasa saat itu, seseorang berbadan tegap berjalan menuju rumahku. Ia berjubah putih. Dan seingatku, ia memancarkan semacam aura cahaya putih. Benar-benar putih.

Kemudian duduklah ia di teras, searah rumahku menghadap ke barat. Maka tahulah aku bahwa ia sedang menunggu seseorang. Yang mengejutkan, Ibu kemudian datang dan berkata kepadaku, ”Nak, keluar sana. Ditunggu Muhammad.”

Yang disebut Ibuku itu, memang Muhammad, seseorang yang telah diabadikan namanya dalam kitab suci Al-Qur’an. Seseorang yang dibetulkan sorbannya oleh Abu Bakar ketika dalam tangis ia berdoa dalam Badar, seraya dihibur untuk dikuatkan. Seseorang yang harus kucinta bahkan melebihi orang yang melahirkanku sendiri!

Mimpi itu, kurang lebih satu dekade yang lalu. Namun hingga saat inipun masih tergambar jelas dalam benakku. Dan itulah mengapa, peristiwa itu seringkali membuat dadaku penuh sesak rasa rindu untuk bertemu. Rasa rindu yang seakan mau membelesak tak tertampung dalam dadaku. Rasa rindu yang mampu membanting kemalasan iman yang berusaha menyelimutiku. Allahumma shalli ’alaa Muhammad wa aali Muhammad.

***

Aku yakin pasti ada yang pernah berfikiran sama sepertiku, mungkin Kamu. Iseng-iseng muncul pikiran ”usil”: Andai dulu dilahirkan di zaman Rasulullah. Ah, betapa bahagianya. Aku membayangkan bisa bertemu Rasulullah, bersahabat dengan Rasulullah, bersenda gurau dengan Rasulullah, kemudian berjuang mati-matian berdakwah dan berjihad bersama Rasulullah. Pokoknya indah banget. Yah, namanya juga bayangan usil.

Tapi, tapi, apa iya semudah itu bayangannya? Bagaimana kalau kita justru direkrut dan dikader oleh Abu Jahal? Atau, bagaimana kalau kita tergoda iming-iming kafir Quraisy dengan wanita-wanita bohay, penari seksi (katakanlah artis pada masa itu), musik-musik jahiliyah (sebut saja Band terkenal pada zamannya yang suka membawakan lagu-lagu cinta penuh sahwat), lalu mendapat tawaran jabatan (singkat kata jadi anggota partai, lalu diangkat menjadi anggota Dewan), kemudian minuman lezat dan memabukkan. Nah, bagaimana?

Tentunya kita akan lebih bersyukur hidup saat ini yang kemudian dipertemukan hidayah. Karena jika dihidupkan pada zaman Rasulullah, belum tentu hidayah itu turun kepada kita. Bukan semata-mata karena masih sedikit yang menyampaikan Islam, tetapi pada masa itu, makian, ancaman, siksaan, dan pemboikotan sangat gencar ditimpakan kepada penganut jalan kenabian.

Bukan hanya itu, bahasa Iman pada waktu itu memang mutlak dituntut ketimbang sekadar mengandalkan ’rasionalitas’ semata-mata, di samping propaganda-propaganda miring tentang khabar kenabian dan wahyu yang telah diturunkan.

Satu peristiwa yang menuntut bahasa keimanan itu, Isra’ Mi’raj, misalnya. Ia begitu ’tidak masuk akal’ untuk ukuran ilmuan yang hanya mengandalkan rumus-rumus fisika, mengingat pada masa itu belum ada BJ. Habibie yang faham pembuatan pesawat. Maka perdebatan pun tak dapat dihindarkan. Dan bagi Abu Bakar, manusia yang tak retak Imannya itu, beliau berkata, ”Benar sekali engkau, wahai Rasulullah. Aku bersaksi bahwa engkau benar-benar Rasulullah saw..”

Maka menyahutlah Rasulullah, ”Sedang engkau, Abu Bakar, Ash-Shiddiq, orang jujur yang membuktikan ucapannya dengan perbuatan.”

***

Saya begitu tertarik mengkaji peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw.. Lagi-lagi kalau boleh usil, kejadian itu saya sebut sebagai: Peristiwa unik. Dan yang lebih menggairahkan lagi ketika saya membacanya dalam Sirah Nabawiyah-nya Syaikh Rawwas Qal-ahji. Beliau tak hanya memuat cerita, tetapi juga menyingkap unsur politis yang ada di dalamnya.

Nyatalah Isra’ Mi’raj sesungguhnya merupakan ujian dari Allah kepada manusia, sehingga dengannya berimanlah orang-orang yang beriman, dan berdustalah orang-orang yang berdusta.

Berdasarkan penetapan waktunya, perstiwa itu terjadi setahun sebelum diproklamirkan berdirinya Negara Islam. Di sinilah pentingnya, mengingat peristiwa itu melahirkan goncangan dan kegiatan yang tidak biasa di kota Makkah, yang kemudian menghasilkan perdebatan di semua komunitas. Menariknya, secara tak sadar, perdebatan yang berlangsung itu semuanya terfokus pada issue Ideologi yang diturunkan kepada Rasulullah saw.. Semuanya disibukkan berbicara tetang Islam, baik bagi yang merasa terkesan maupun yang merasa terancam. Dengan demikian, kondisi perpolitikan pada waktu itu disibukkan dengan pembahasan mengenai Ideologi Islam. Hanya saja, saya kurang tahu apakah pada masa itu orang-orang ’terpelajar’ ada yang membikin seminar mengenai ”Tantangan dan ancaman Islam”. Ah, saya yakin ada, tetapi tidak harus bernama forum seminar. Dan terpikirkah olehmu bagaimana respon Quraisy terhadap ide Islam pada masa itu? Melihat dari gelagatnya, saya yakin mereka tak segan-segan akan berkata: U-to-pis!

Nah, sambil melihat masa itu saya berkaca pada keadaan sekarang. Manusia-manusia saat ini banyak disibukkan dengan issue Syariat Islam. Yang sini tertarik dengan Syariat Islam, yang situ menggembosi. Yang di sini merasa simpati, yang di sana terus memberangus dan memerangi.

Lain hal, dengung Daulah Islam (Khilafah) semakin menjadi-jadi. Seperti biasa, mulai dari yang terkesan sampai yang merasa terancam. Mulai dari aktivis Islam sampai kepada NIC (National Intelelligence Council’s).

Sibuk membuat prediksi, NIC memperkirakan 2020, sementara negaranya striker enerjik Van Persie kabarnya sudah merencanakan hubungan diplomatik dengan Negara Khilafah. Sementara itu, bagi aktivis Islam yang faham hadits sudah barang tentu meyakini, karena dalam rentetan khabar –sampai tersebut sebagai mutawatir bil ma’na- Allah menyampaikan janji. Alih-alih sibuk dengan prediksi, mereka malah sudah mengancang-ancang kota Roma untuk segera disinggahi.

Maka, kiranya tepat terdapat persamaan ibrah antara dampak peristiwa Isra’ Mi’raj dengan kejadian saat ini, yakni sama-sama merupakan ujian bagi umat manusia, sekaligus sama-sama menimbulkan perdebatan sebagai ”kampanye gratis” menuju kegemilangan pada akhirnya. Dalam kaitannya dengan tegaknya Syariat Islam dalam bingkai Khilafah, mereka akan memilih jalan mereka sendiri-sendiri: Ada yang dengan senang hati mereka memilih sebagai pemain, ada yang rela hati hanya sebagai penonton, dan bahkan ada yang memilih sebagai penentang. Maka agungkanlah jalan kalian masing-masing. Cepat atau lambat, senyum lebar akan menandakan di antara kita siapa yang menjadi pemenang.

Dalam kerinduan, Surabaya 07 Oktober 2010
Ahsan Hakim.
*
Postingan Terkait Lainnya :


0 komentar:

Posting Komentar

 

Hizbut Tahrir Indonesia

SALAFY INDONESIA

Followers