oleh Yahya Abdurrahman
Ibadah Secara Bahasa
Secara bahasa, ‘ibâdah berasal dari kata ‘abada–ya’budu–‘ibâdah/‘ubûdiyyah yang artinya beribadah atau menyembah. Menurut Abdul Qadir ar-Razi, Mukhtâr as-Shihâh 1/172, asal ‘ubûdiyyah adalah al-khudhû’ (ketundukan) dan ad-dzullu (kerendahan), Ibadah juga berarti inqiyâdz, yakni kepatuhan (Al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi, 4/235). Dengan demikian, secara bahasa ibadah dapat diartikan sebagai bentuk kerendahan, ketundukan, dan kepatuhan kepada al-Ma’bûd (yang disembah).
Ibadah Secara Istilah Dan Syariat
Seorang hamba (al-‘abd, jamaknya al-‘abîd, al-‘ibâd, al-‘ubbâd) adalah orang yang rendah, tunduk, dan pasrah. Al-Jauhari berkata, ibadah adalah ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kepasrahan, yang hanya layak ditujukan kepada Allah. Ibadah adalah ketundukan kepada-Nya dan tidak ada ketundukan yang lebih tinggi selain kepada-Nya. Al-‘Abd (hamba) disebut hamba karena kerendahan dan ketundukannya kepada tuannya (Abu Abdullah al-Ba’li, al-Muthalli’ 1/93). Sedangkan Imam at-Thabari mengartikan ibadah sebagai ketundukan kepada Allah dengan menjalankan ketaatan dan merendahkan diri kepada-Nya dengan kepasrahan (Tafsîr at-Thabari, 1/160).
Untuk beribadah, seorang hamba harus mengesampingkan keinginan hawa nafsunya, mengedepankan keinginan yang disembahnya, menaati ketentuan-Nya. Oleh karena itu, ibadah juga diartikan sebagai perbuatan seorang mukallaf (yakni orang yang dibebani hukum) menyalahi keinginan hawa nafsunya sebagai pengagungan kepada Tuhannya (l-Jurjani, at-Ta’rifât, 1/189). Al-Manawi menambahkan, bahwa ibadah adalah mengagungkan Allah dan menaati perintah-perintah-Nya. Ibadah juga berarti perbuatan-perbuatan yang menunjukkan batas paling akhir dari kerendahan dan ketundukan (at-Ta’ârif, 1/498).
Maka dari itu, Imam Ibn Taimiyah, sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh ibn Ahmad al-Hakami, mengatakan bahwa ibadah merupakan sebutan yang mencakup semua yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan dan perbuatan, baik batin maupun lahir (Al-Hakami, Ma’ârij al-Qabûl, 1/84).
Ibadah Umum Dan Ibadah Khusus
Allah menciptakan manusia tidak lain untuk beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (Qs. ad-Dzariyat [51]: 56).
Ibnu Abbas berkata, maksudnya adalah, “agar mereka menetapi ibadah kepada-Ku.” Mufasir lain mengatakan, maksudnya adalah “agar mereka tunduk dan merendahkan diri kepada-Ku.” (Ibn al-Jauzi, Zâd al-Masîr, 8/43).
Maksud ayat di atas adalah agar mereka menjadi hamba Allah, melaksanakan hukum-Nya, dan patuh pada apa yang ditetapkan Allah kepada mereka (Ibn Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, 3/80). Inilah hakikat ibadah. Ibadah tidak lain adalah mengikuti dan patuh, diambil dari al-‘ubûdiyyah; seseorang hanya menyembah Zat yang ia patuhi dan yang dia ikuti perintah (ketentuan)-Nya (Ibn Hazm, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 1/90). Karena itu, orang yang menyalahi ketentuan aturan-aturan Allah dan menaati aturan-aturan selain-Nya, dia hakikatnya bukan hamba Allah, dan pada saat yang sama ia telah menyekutukan Allah dengan yang lain. Ibadah secara umum ini hanya bisa dilaksanakan sempurna jika kita menjadikan Allah saja sebagai Pembuat hukum/aturan yang wajib ditaati.
Walhasil, secara umum segala bentuk ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah merupakan ibadah. Hanya saja, kata ibadah kemudian digunakan untuk menyebut bentuk ketaatan yang lebih khusus. Para ulama menyebutnya sebagai ibadah mahdhah, dan disebut “ibadah” saja. Ibadah mahdhah ini, seperti yang dikatakan oleh an-Nawawi, adalah ibadah yang murni, di dalamnya tidak terdapat campuran selainnya (al-Majmû’, 1/373).
Ibadah merupakan bentuk real hubungan seorang hamba (manusia) dengan Allah selain hubungan dalam bentuk akidah. Dikatakan ibadah mahdhah jika di dalamnya hanya terdapat bentuk hubungan ini dan tidak terdapat bentuk hubungan yang lain, yaitu tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan dirinya sendiri yakni masalah makanan, minuman, pakaian, dan akhlak; dan tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan manusia yang lain yakni masalah muamalat dan ‘uqûbat. Contoh ibadah mahdhah ini adalah shalat, puasa, zakat, haji, doa, zikir, membaca al-Qur’an, kurban Idul Adha, dan sebagainya.
Berbeda dengan jual-beli, kontrak kerja, perwakilan, pemerintahan, hubungan sosial, dan sejenisnya; di dalamnya ada hubungan manusia dengan manusia lainnya sehingga tidak disebut ibadah.
Al-Mawardi, dalam al-Hâwi, memberikan batasan ibadah, yaitu apa saja yang dinyatakan untuk beribadah dengannya sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan menurut Imam al-Haramayn (al-Juwayni), ibadah (mahdhah) merupakan kerendahan dan ketundukan dengan ber-taqarrub kepada yang disembah, al-Ma’bûd, yakni Allah SWT, melalui perbuatan yang diperintahkan oleh-Nya (al-Majmû’, 1/373).
Ibadah itu bersifat tawqîfiyah, artinya ditentukan oleh Allah dan diambil apa adanya, tidak ada penambahan dan pengurangan, bahkan wajib kembali pada ketentuan nash dan dalil syariat.
Ada sebagian orang yang mengutak-atik ibadah dan mengembangluaskan ketentuan ibadah (semisal zakat) dengan alasan menyesuaikan zaman dan demi keluwesan. Ini artinya mengubah tatacara dan ketentuan ibadah yang sudah ditentukan Allah. Ini tentu saja tidak bisa lagi disebut dengan ibadah.
Agar ibadah menjadi sah dan berpahala, maka pelaksanaannya harus memenuhi tiga ketentuan pokok:
(1) harus dilandasi iman;
(2) harus ikhlas semata-mata karena Allah, tidak boleh dilakukan demi selain Allah;
(3) harus dilakukan sesuai dengan tatacara dan ketentuan ibadah yang telah ditentukan Allah dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, tidak boleh ada tambahan atau pengurangan.
Hudzaifah r.a. pernah berkata, “Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh sahabat Rasulullah, janganlah engkau beribadah dengannya.”
Imam Malik juga pernah berkata, “Apa yang hari itu (masa Nabi Saw) tidak termasuk dalam ketentuan agama, maka pada saat ini (masa Imam Malik) juga tidak termasuk dalam ketentuan agama. Beribadah kepada Allah SWT hanya dilakukan dengan apa yang Dia syariatkan.”
Tanpa itu semua aktivitas ibadah tidak akan diterima dan tidak mendekatkan dirinya kepada Allah. Yang ada bukan ta’abbud ilâ Allâh (beribadah kepada Allah), tetapi taba’ud ‘an Allâh (menjauh diri dari Allah).
Dinukil dari Samrah:
Betapa banyak tukang ibadah yang bodoh dan betapa banyak orang berilmu yang jahat. Karena itu, berhati-hatilah kalian terhadap orang-orang bodoh dari kalangan tukang ahli ibadah dan terhadap orang-orang jahat dari kalangan ulama. Sesungguhnya keburukan mereka terhadap agama lebih besar daripada keburukan setan. (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, demikian dikatakan oleh al-Manawi, dalam Faydh al-Qadîr, 4/17).
Wallâhu a‘lam bi as-shawâb. [Majalah al-wa'ie, Edisi 50]
*
Ibadah Secara Bahasa
Secara bahasa, ‘ibâdah berasal dari kata ‘abada–ya’budu–‘ibâdah/‘ubûdiyyah yang artinya beribadah atau menyembah. Menurut Abdul Qadir ar-Razi, Mukhtâr as-Shihâh 1/172, asal ‘ubûdiyyah adalah al-khudhû’ (ketundukan) dan ad-dzullu (kerendahan), Ibadah juga berarti inqiyâdz, yakni kepatuhan (Al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi, 4/235). Dengan demikian, secara bahasa ibadah dapat diartikan sebagai bentuk kerendahan, ketundukan, dan kepatuhan kepada al-Ma’bûd (yang disembah).
Ibadah Secara Istilah Dan Syariat
Seorang hamba (al-‘abd, jamaknya al-‘abîd, al-‘ibâd, al-‘ubbâd) adalah orang yang rendah, tunduk, dan pasrah. Al-Jauhari berkata, ibadah adalah ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kepasrahan, yang hanya layak ditujukan kepada Allah. Ibadah adalah ketundukan kepada-Nya dan tidak ada ketundukan yang lebih tinggi selain kepada-Nya. Al-‘Abd (hamba) disebut hamba karena kerendahan dan ketundukannya kepada tuannya (Abu Abdullah al-Ba’li, al-Muthalli’ 1/93). Sedangkan Imam at-Thabari mengartikan ibadah sebagai ketundukan kepada Allah dengan menjalankan ketaatan dan merendahkan diri kepada-Nya dengan kepasrahan (Tafsîr at-Thabari, 1/160).
Untuk beribadah, seorang hamba harus mengesampingkan keinginan hawa nafsunya, mengedepankan keinginan yang disembahnya, menaati ketentuan-Nya. Oleh karena itu, ibadah juga diartikan sebagai perbuatan seorang mukallaf (yakni orang yang dibebani hukum) menyalahi keinginan hawa nafsunya sebagai pengagungan kepada Tuhannya (l-Jurjani, at-Ta’rifât, 1/189). Al-Manawi menambahkan, bahwa ibadah adalah mengagungkan Allah dan menaati perintah-perintah-Nya. Ibadah juga berarti perbuatan-perbuatan yang menunjukkan batas paling akhir dari kerendahan dan ketundukan (at-Ta’ârif, 1/498).
Maka dari itu, Imam Ibn Taimiyah, sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh ibn Ahmad al-Hakami, mengatakan bahwa ibadah merupakan sebutan yang mencakup semua yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan dan perbuatan, baik batin maupun lahir (Al-Hakami, Ma’ârij al-Qabûl, 1/84).
Ibadah Umum Dan Ibadah Khusus
Allah menciptakan manusia tidak lain untuk beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (Qs. ad-Dzariyat [51]: 56).
Ibnu Abbas berkata, maksudnya adalah, “agar mereka menetapi ibadah kepada-Ku.” Mufasir lain mengatakan, maksudnya adalah “agar mereka tunduk dan merendahkan diri kepada-Ku.” (Ibn al-Jauzi, Zâd al-Masîr, 8/43).
Maksud ayat di atas adalah agar mereka menjadi hamba Allah, melaksanakan hukum-Nya, dan patuh pada apa yang ditetapkan Allah kepada mereka (Ibn Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, 3/80). Inilah hakikat ibadah. Ibadah tidak lain adalah mengikuti dan patuh, diambil dari al-‘ubûdiyyah; seseorang hanya menyembah Zat yang ia patuhi dan yang dia ikuti perintah (ketentuan)-Nya (Ibn Hazm, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 1/90). Karena itu, orang yang menyalahi ketentuan aturan-aturan Allah dan menaati aturan-aturan selain-Nya, dia hakikatnya bukan hamba Allah, dan pada saat yang sama ia telah menyekutukan Allah dengan yang lain. Ibadah secara umum ini hanya bisa dilaksanakan sempurna jika kita menjadikan Allah saja sebagai Pembuat hukum/aturan yang wajib ditaati.
Walhasil, secara umum segala bentuk ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah merupakan ibadah. Hanya saja, kata ibadah kemudian digunakan untuk menyebut bentuk ketaatan yang lebih khusus. Para ulama menyebutnya sebagai ibadah mahdhah, dan disebut “ibadah” saja. Ibadah mahdhah ini, seperti yang dikatakan oleh an-Nawawi, adalah ibadah yang murni, di dalamnya tidak terdapat campuran selainnya (al-Majmû’, 1/373).
Ibadah merupakan bentuk real hubungan seorang hamba (manusia) dengan Allah selain hubungan dalam bentuk akidah. Dikatakan ibadah mahdhah jika di dalamnya hanya terdapat bentuk hubungan ini dan tidak terdapat bentuk hubungan yang lain, yaitu tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan dirinya sendiri yakni masalah makanan, minuman, pakaian, dan akhlak; dan tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan manusia yang lain yakni masalah muamalat dan ‘uqûbat. Contoh ibadah mahdhah ini adalah shalat, puasa, zakat, haji, doa, zikir, membaca al-Qur’an, kurban Idul Adha, dan sebagainya.
Berbeda dengan jual-beli, kontrak kerja, perwakilan, pemerintahan, hubungan sosial, dan sejenisnya; di dalamnya ada hubungan manusia dengan manusia lainnya sehingga tidak disebut ibadah.
Al-Mawardi, dalam al-Hâwi, memberikan batasan ibadah, yaitu apa saja yang dinyatakan untuk beribadah dengannya sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan menurut Imam al-Haramayn (al-Juwayni), ibadah (mahdhah) merupakan kerendahan dan ketundukan dengan ber-taqarrub kepada yang disembah, al-Ma’bûd, yakni Allah SWT, melalui perbuatan yang diperintahkan oleh-Nya (al-Majmû’, 1/373).
Ibadah itu bersifat tawqîfiyah, artinya ditentukan oleh Allah dan diambil apa adanya, tidak ada penambahan dan pengurangan, bahkan wajib kembali pada ketentuan nash dan dalil syariat.
Ada sebagian orang yang mengutak-atik ibadah dan mengembangluaskan ketentuan ibadah (semisal zakat) dengan alasan menyesuaikan zaman dan demi keluwesan. Ini artinya mengubah tatacara dan ketentuan ibadah yang sudah ditentukan Allah. Ini tentu saja tidak bisa lagi disebut dengan ibadah.
Agar ibadah menjadi sah dan berpahala, maka pelaksanaannya harus memenuhi tiga ketentuan pokok:
(1) harus dilandasi iman;
(2) harus ikhlas semata-mata karena Allah, tidak boleh dilakukan demi selain Allah;
(3) harus dilakukan sesuai dengan tatacara dan ketentuan ibadah yang telah ditentukan Allah dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, tidak boleh ada tambahan atau pengurangan.
Hudzaifah r.a. pernah berkata, “Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh sahabat Rasulullah, janganlah engkau beribadah dengannya.”
Imam Malik juga pernah berkata, “Apa yang hari itu (masa Nabi Saw) tidak termasuk dalam ketentuan agama, maka pada saat ini (masa Imam Malik) juga tidak termasuk dalam ketentuan agama. Beribadah kepada Allah SWT hanya dilakukan dengan apa yang Dia syariatkan.”
Tanpa itu semua aktivitas ibadah tidak akan diterima dan tidak mendekatkan dirinya kepada Allah. Yang ada bukan ta’abbud ilâ Allâh (beribadah kepada Allah), tetapi taba’ud ‘an Allâh (menjauh diri dari Allah).
Dinukil dari Samrah:
Betapa banyak tukang ibadah yang bodoh dan betapa banyak orang berilmu yang jahat. Karena itu, berhati-hatilah kalian terhadap orang-orang bodoh dari kalangan tukang ahli ibadah dan terhadap orang-orang jahat dari kalangan ulama. Sesungguhnya keburukan mereka terhadap agama lebih besar daripada keburukan setan. (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, demikian dikatakan oleh al-Manawi, dalam Faydh al-Qadîr, 4/17).
Wallâhu a‘lam bi as-shawâb. [Majalah al-wa'ie, Edisi 50]
0 komentar:
Posting Komentar