Rabu, 30 Maret 2011

Keluar dari Jamaah Kafir?

Assalamu'alaikum wr. wb.
Ykh. Ustadz Sigit, semoga ustadz selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Saya ingin menanyakan beberapa hal yang berhubungan dengan sebuah kelompok/jama'ah.
  1. Keberadaan sebuah kelompok atau jama'ah saya memahami hanyalah sebuah wasilah atau sarana untuk saling nasehat-menasehati tentang din agama Islam. Keikutsertaan kita dalam jama'ah tersebut tidak otomatis memperingan atau memperberat hisab di yaumul akhir, karena hisab yaumul akhir adalah pertanggungjawaban amal perseorangan. Dengan pemahaman ini, berarti keluar atau melepaskan diri dari keanggotaan suatu jama'ah tidak otomatis menjadikan status kita menjadi kafir. Apakah pemahaman saya ini sudah benar? Adakah nash syar'i yang menjelaskan hal ini?
  2. Apabila kita melihat sahabat kita takut melepaskan diri dari sebuah jama'ah, padahal jama'ah itu sudah terlihat menyimpang dari tolok ukur syari'at Allah SWT bahkan melakukan kemungkaran-kemungkaran, apakah diam dan takutnya sahabat saya tadi bisa dikatakan sebagi pendukung kemungkaran?
  3. Saya pernah mendengar rangkaian kalimat, "Kebenaran/Al Haq tidak bisa diukur dari seorang Rijal, tetapi Rijal tersebut yang akan diukur terhadap Kebenaran/Al Haq" Ini adalah sebuah hadits atau bukan?
Demikian atas penjelasannya saya ucapkan jazakallah khoiron katsiro.
Wassalam,
Abdulghofar - Palembang

Jawaban

 Waalaikumussalm wr. wb.
Saudar Abdul Ghaffar yang dimuliakan Allah SWT
Melepaskan Diri Dari Suatu Jamaah
Dimasa tidak adanya kekhilafahan seperti sekarang ini maka setiap jamaah, jam’iyah, partai islam, ormas islam atau sejenisnya hanyalah disebut jamaah minal muslim atau jamaah yang terdiri dari sebagian kaum muslimin dan tidak bisa disebut sebagai jamaatul muslimin sebagaimana kekhilafahan.
Dari sini bisa difahami bahwa hubungan antara setiap anggota dengan jamaahnya yang ada saat ini hanyalah hubungan idari (administrasi) dan tanzhimi (organisasi/penataan) yang tidak bersifat mengikat karena baiat atau janji yang dilakukan disitu hanyalah baiat amal. Hal itu berbeda dengan hubungan antara setiap muslim dengan jamaatul muslimin yang bersifat syar’i dan mengikat.
Diperbolehkan bagi seseorang dari anggota suatu kelompok atau jamaah minal muslimin untuk tidak melanjutkan (berhenti) atau keluar darinya jika memang dia melihat bahwa jamaah tersebut tidak lagi bisa diajak bekerjasama untuk menegakkan islam atau telah menyalahi isi dari perjanjian atau baiat yang diucapkannya dan tidaklah ada konsekuensi syar’i baginya, seperti : jahiliyah, fasiq apalagi kafir. Jika terhadap mereka yang telah berjanji atau berbaiat saja diperbolehkan untuk tidak melanjutkan kerjasamanya dengan jamaahnya itu maka terlebih lagi mereka yang hanya anggota biasa atau simpatian tentunya lebih bisa lagi.
Berbeda dengan seorang muslim yang melepaskan baiat atau janji setianya terhadap jamaatul muslimin yang dipimpin oleh seorang khalifah maka dikenakan baginya konsekuensi syar’i, seperti : jahiliyah atau bahkan bisa kufur jika keluarnya adalah untuk berwala (berloyalitas) dengan kelompok kafir dan menentang jamaatul muslimin.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali satu dari tiga orang berikut ini; seorang janda yang berzina, seseorang yang membunuh orang lain dan orang yang keluar dari agamanya, memisahkan diri dari Jama'ah."
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang melepaskan tangannya (baiat) dari suatu keaatan maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa adanya hujjah (alasan) baginya. Dan barangsiapa mati sementara tanpa ada baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah.”
Ibnu Taimiyah juga menyebutkan bahwa pembangkang yang keluar dari ketaatan terhadap penguasa dan dari Jamaatul Muslimin maka setiap mereka yang membangkang apabila mati maka matinya seperti mati orang jahiliyah. Sesungguhnya orang-orang jahiliyah, mereka tidak memiliki para imam (khalifah, pen). (Majmu’ Fatawa juz VI hal 421)
Terdapat beberapa kekeliruan disebagian kaum muslimin dalam permasalahan ini dikarenakan kurangnya ilmu dan sikap taqlid terhadap jamaahnya, seperti : mempoisikan pemimpin jamaahnya seperti seorang khalifah, baiat kepadanya seperti baiat kepada khalifah, menganggap siapa yang keluar atau berpisah darinya adalah jahiliyah, khawarij atau bahkan kafir yang perlu diperangi, menutup pintu ta’awun (kerjasama) dengan jamaah minal muslimin lainnya. Sikap-sikap keliru ini haruslah segera disingkirkan dari diri setiap aktivis dakwah karena dapat membelenggunya dari kemajuan diri, jamaahnya dan kaum muslimin secara umum.
Jamaah hanyalah sebuah sarana untuk beramal shaleh karena amal yang dilakukan secara bersama-sama lebih utama daripada beramal sendirian. Tidak ada jamaah minal muslimin yang ma’shum sehingga berhak menyatakan bahwa para anggotanya pasti mendapatkan surga?!! Sesungguhnya pertanggungjawaban dihadapan Allah nanti dihari kiamat tidaklah secara kolektif akan tetapi masing-masing individu sesuai dengan amal-amal yang dilakukannya selama di dunia sekalipun mereka dahulunya berada dalam satu jamaah.
Berdiam Diri Terhadap Penyimpangan yang Ada di Jamaah
Diantara penopang internal kekuatan umat ini adalah kebiasaan untuk senantiasa melaksanakan amar maruf nahi munkar. Inilah diantara sifat orang-orang beriman, sebagaimana disebutkan didalam firman-Nya :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya : ”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah [9] : 71)
Bentuk saling tolong atau dukung sesama kaum mukminin adalah dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar diantara mereka, yaitu menghilangkan kezhaliman yang menimpa mereka atau menghentikan tindakan kezhaliman yang mereka lakukan, sebagaimana disebutkan didalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim (aniaya) dan yang dizhalimi".
Diharuskan bagi setiap muslim untuk mencegah setiap kemunkaran dimanapun sesuai dengan batas kemampuannya, tidak terkecuali didalam jamaahnya, baik kemunkaran yang dilakukan oleh para anggota biasa atau pemimpinnya karena islam adalah nasehat bagi pemimpin maupun pengikutnya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Said bahwa "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman."
Hadits itu menjelaskan tentang urutan-urutan amar ma’ruf nahi munkar yang diawali dengan tangan lalu lisan kemudian hati. Seorang anggota jamaah dainggap maksiat jika dirinya memiliki kesanggupan melakukan perubahan dengan tangannya, jabatannya di struktur jamaah namun tidak melakukannya. Begitu juga dengan seorang yang memiliki kesanggupan melakukan perubahan dengan lisannya, menngingatkan atau menaehati pelaku penyimpangan namun tidak dilakukannya dan hal yang sama juga bagi orang yang tidak melakukan dengan hatinya jika memang dirinya tidak sanggup dengan tangan maupun lisan.
Didalam kitab Tuhafatul Ahwadzi disebutkan : ”Barangsiapa yang merubah urutan-urutan itu padahal dirinya memiliki kesanggupan maka orang itu telah bermaksiat dan barangsiapa yang meninggalkannya dikarenakan tidak memiliki kesanggupan atau memandang bahwa kerusakan yang ditimbulkannya lebih banyak lalu dia merubah kemunkaran dengan hatinya maka dia adalah seorang mukmin.” (Tuhfah al Ahwadzi juz V hal 464)
Sikap berdiam diri dan tidak melakukan perubahan dengan hatinya terhadap kemunkaran yang ada dihadapannya berarti ia telah ridho dengan kemunkaran tersebut dan terkategorikan bertolong-tolongan didalam kemaksiatan dan dosa.
Jika dia berdiam diri dalam arti dirinya tidak melakukan perubahan dengan kekuasaan atau tangannya karena dirinya memang tidak memenuhi kesanggupan namun dia tetap merubah dengan hatinya melalui doa-doa yang dipanjatkannya maka ia tidaklah berdosa dan tidak terkategorikan orang yang ridho dengan kemunkaran tersebut.
Adapun jika seorang berdiam diri dan tidak melakukan perubahan sesuai dengan kesanggupannya dikarenakan takut kepada manusia, takut dicopot jabatannya, dikeluarkan atau lainnya maka perbuatan ini bisa terkategorikan syirik. Karena tidaklah sepantasnya seorang muslim takut kecuali hanya kepada Allah swt.
Didalam kitab ”Majmu’ Fatawa”, Syeikhul Islam mengutip sebuah atsar,”Berharaplah kepada Allah ditengah-tengah manusia dan janganlah berharap kepada manusia di (jalan) Allah. Takutlah kepada Allah di tengah-tengah manusia dan janganlah takut kepada manusia di (jalan) Allah.” (Majmu’ Fatawa juz I hal 41)
Berharap dan takut termasuk bentuk-bentuk ibadah dan tidaklah semestinya diberikan kepada selain Allah swt.
Tentang ungkapan, "Kebenaran/Al Haq tidak bisa diukur dari seorang Rijal, tetapi Rijal tersebut yang akan diukur terhadap Kebenaran/Al Haq"
Apakah ungkapan tersebut sama dengan ungkapan yang menyebutkan ”Kebenaran/al Haq tidak difahami dengan melihat orangnya (rijal) tetapi seseorang (rijal) dikenali dengan melihat kebenaran/al Haq” dan ungkapan kedua ini ada yang mengatakan perkataannya imam Ali meskipun ana sendiri belum bisa memastikannya.

Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Sigit Pranowo, Lc. al-Hafidz
eramuslim.com
 
*
Postingan Terkait Lainnya :


0 komentar:

Posting Komentar

 

Hizbut Tahrir Indonesia

SALAFY INDONESIA

Followers