Pagi itu, Rasulullah bergegas menuju keramaian. Setelah sampai, menceritakan kejadian luar biasa yang dialaminya tadi malam. Beliau bercerita, Tadi malam, Jibril datang padaku. Ia mengajakku pergi ke suatu tempat. Didatangkan untukku seekor binatang yang berbentuk lebih besar dari keledai, langkahnya sejauh pandangan matanya. Aku menungganginya dengan disertai Jibril.
Sejenak setelah kami dibawa terbang oleh Buraq, aku disuruh Jibril turun untuk melakukan shalat, lalu berkatalah beliau kepadaku, Tahukah engkau bahwa engkau shalat di Thaibah (Madinah) dan disitulah engkau kelak berhijrah. Kemudian perjalanan dilanjutkan, di suatu tempat Jibril menyuruhku turun untuk shalat. 'Inilah Thuur Sina, tempat Musa bercakap-cakap langsung dengan Tuhannya,' kata Jibril kepadaku.
Untuk ketiga kalinya sebelum kami sampai ke tempat tujuan, Jibril menyuruhku turun lagi dan melakukan shalat. Setelah selesai shalat berkatalah beliau kepadaku, Tahukah di mana engkau shalat kali ini? Engkau shalat di Baitlehem, tempat Isa putra Maryam dilahirkan. Kemudian masuklah aku ke Baitul Maqdis di mana telah berkumpul nabi-nabi dan bersama kami melakukan shalat berjamaah. Oleh Jibril aku di kedepankan untuk menjadi Imam. Setelah itu kami menuju langit yang paling tinggi, ungkapnya.
Demi mendengar cerita itu, ramailah orang-orang yang dari tadi berkumpul. Kamu bohong Muhammad, bagaimana mungkin kamu pergi ke Baitul Maqdis, kemudian ke langit hanya dalam semalam, teriak seseorang musyrik. Lihatlah wahai para pengkhianat Latta dan 'Uzza, orang yang menurutmu Nabi, ternyata hanya seorang pembual, teriak yang lain.
Ya Rasulullah, benarkah apa yang engkau ceritakan itu? tanya salah seorang sahabat. Benar, jawab Rasul mantap. Tapi, apakah mungkin? ujar sahabat tadi dalam hatinya.
Seseorang pergi menemui Abu Bakar menanyakan pendapatnya tentang cerita Rasulullah. Dengan mantap Abu Bakar menjawab, Aku mempercayainya tentang hal-hal yang lebih aneh dari itu, aku mempercayainya tentang kabar-kabar langit yang dibawanya (Rasulullah) di waktu pagi maupun senja.
Kisah ini menunjukkan respons orang Mekah terhadap peristiwa Isra Mi'raj. Menurut nalar, tidak mungkin perjalanan dari Mekah ke Yerussalem yang begitu jauh, hanya dalam semalam. Apalagi setelah itu, pergi ke langit yang tertinggi, sangat sulit dipahami. Ada tiga respons kaum mukminin terhadap peristiwa ini, yaitu tetap beriman, ragu-ragu dan kembali kafir. Abu Bakar adalah salah seorang yang tetap beriman. Tanpa ragu sedikit pun ia membenarkan peristiwa tersebut. Kesaksian inilah yang membuat Abu Bakar dijuluki Ash Shiddiq (orang yang benar).
Iman itu diuji
Keimanan pasti diuji. Difirmankan, Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta (QS Al 'Ankabuut [29]: 2-3).
Ujian ini dimaksudkan untuk mengetahui siapa saja orang yang benar-benar beriman dan yang berbohong. Ujian juga berfungsi sebagai tes kenaikan iman. Apabila mampu melewati ujian itu, dapat dipastikan iman kita bertambah. Sebaliknya, apabila tidak mampu, maka keimanan berkurang bahkan hilang sama sekali. Seperti yang ditunjukkan sebagian sahabat setelah mendengar kisah Isra Mi'raj. Sebagian mereka ada yang ragu-ragu, bahkan kembali pada kekafiran.
Semua peristiwa dalam kehidupan adalah ujian keimanan. Rezeki yang mudah didapatkan, atau yang sulit didapat. Doa terkabul atau yang tidak dikabul. Harta yang banyak atau sedikit. Anak saleh atau salah. Longsor, gempa, banjir, dan lain-lain. Semuanya adalah ujian. Penyikapan terhadap ujian menentukan termanfaatkan atau tidak ujian untuk kenaikan iman. Sikap Abu Bakar patut diteladani. Ia mampu melewati ujian Isra Mi'raj dan memanfaatkannya untuk menambah keimanan. Apa yang membuatnya tetap beriman?
Ilmu menjaga keimanan
Dibanding sahabat lain, Abu Bakar lebih dekat dengan Rasulullah SAW. Abu Bakar telah mengenalnya sejak muda. Ia tahu sahabatnya tidak pernah berdusta. Ia selalu jujur dan amanah. Orang-orang Quraisy menjuluki sahabatnya, Al 'Amin (yang tepercaya). Sehingga, ketika Rasulullah menceritakan Isra Mi'raj, dengan mantap ia percaya. Bahkan, ia akan percaya, kalau Rasulullah menceritakan yang lebih aneh dari itu.
Kunci keterjagaan iman Abu Bakar terletak pada pengenalannya yang dalam terhadap Rasulullah. Sahabat lain yang ragu-ragu atau murtad tidak terlalu mengenal Rasul. Semakin dalam pengenalan, semakin kuat keimanannya. Sebaliknya, semakin lemah pengenalan, semakin lemah pula keimanannya. Dengan kata lain ilmu atau pengetahuan terhadap sesuatu akan menjaga atau menambah kepercayaan terhadap sesuatu itu.
Karena itu, ilmu memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Banyak ayat Alquran yang mendorong orang beriman untuk berilmu. Bahkan, dalam salah satu ayat, Allah menjelaskan bahwa ilmu mendahului iman. Artinya, seseorang akan beriman, manakala ia berilmu terlebih dahulu. Firman-Nya, Dan, agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa Alquran itulah yang benar dari Tuhanmu, lalu mereka beriman dan hati mereka tunduk (QS Al Hajj [22]: 54).
Ayat ini menunjukkan urutan, dimulai dengan berilmu, lalu beriman dan kemudian hatinya tunduk. Ilmu akan menghasilkan keimanan dan keimanan akan menghasilkan ketundukkan dan kekhusyukkan, yang satu mempengaruhi yang lain. Demikian penjelasan Yusuf Al Qaradhawi.
Ilmu apa saja yang dapat menghasilkan, menjaga dan menambah keimanan? Sa'id Hawwa menjelaskan ada tiga ilmu yang harus dimiliki orang beriman, yaitu ilmu mengenal Allah, ilmu mengenal Rasulullah SAW dan ilmu mengenal Islam. Tiga ilmu ini yang disebut ilmu asasi (ilmu pokok). Diharapkan orang yang memiliki ketiga ilmu tadi dapat memelihara dan meningkatkan keimanannya.
Wallaahu a'lam.
Komunitas Rindu Syariah & Khilafah
0 komentar:
Posting Komentar