[Al Islam 586] Tahun 2011 segera berlalu. Menilik catatan berbagai peristiwa yang terjadi dan kondisi riil kehidupan umat, terlihat jelas bahwa umat masih menderita disebabkan kapitalisme. Catatan berikut adalah sebagian kecil faktanya:
Rakyat Nganggur dan Miskin di Negeri Kaya
APBN-P 2011 sebesar Rp 1.321 triliun meningkat Rp 279 triliun. Namun, utang Pemerintah juga meningkat. Dari Statistik Utang Kemenkeu, per Oktober 2011 utang Pemerintah mencapai Rp 1.768 triliun. Maka 20% dari APBN (Rp 266,3 triliun ) pun habis hanya untuk membayar utang dan bunganya.
Diperkirakan, tahun 2011 angka pertumbuhan 6,5% dan PDB mencapai US$ 752 miliar. Menurut Majalah Forbes yang dirilis November lalu, dari jumlah itu 11 % atau US$ 85,1 miliar dimiliki hanya oleh 40 orang terkaya di negeri ini. Hal ini menunjukkan lebarnya kesenjangan dan buruknya distribusi kekayaan di negeri ini.
Di sisi lain, berdasarkan data BPS tahun 2011 terdapat 8,12 juta orang menganggur. Sementara data Kadin, justru ada tambahan 1,3 juta penganggur tiap tahun. Sebab tambahan lapangan kerja hanya 1,61 juta sementara tambahan tenaga kerja baru mencapai 2,91 juta orang (lihat, Republika, 15/12).
Angka kemiskinan pun tetap tinggi. Berdasarkan Data BPS tahun 2011 di negeri ini ada 30 juta orang miskin dengan standar kemiskinan yaitu pengeluarannya kurang dari 230 ribu/bulan. Jika ditambahkan dengan yang ‘hampir miskin’ (pengeluarannya Rp 233-280 ribu/bulan), jumlahnya menjadi 57 juta orang atau 24% dari penduduk negeri ini. Apalagi kalau menggunakan standar Bank Dunia (pengeluaran kurang dari US$ 2 per hari) maka ada lebih dari 100 juta orang miskin di negeri ini. Sungguh ironi.
Kekayaan alam begitu melimpah di negeri ini. Tapi sebagian besarnya dikuasai asing. Tentu hasilnya lebih banyak dinikmati asing. Contohnya, Freeport yang sudah bercokol 40 tahun di bumi Papua, antara tahun 2004 -2008 pendapatannya US$ 19,893 milyar (sekitar Rp 198 triliun). Sementara pemerintah selama 5 tahun itu hanya menerima Rp 41 triliun dalam bentuk pajak dan royalti.
Kenapa semua itu bisa terjadi? Kesenjangan, kemiskinan, pengangguran, penguasaan asing dan swasta atas kekayaan negeri dan sebagainya itu, tak lain akibat diterapkannya sistem kapitalisme di negeri ini.
Korupsi Makin Menjadi
Menurut survei Transparency International yang dilansir pada bulan Desember 2011, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negeri ini hanya 3.0 (skala 0 terkorup - 10 terbersih). Indonesia menempati rangking 100 dari 183 negara yang disurvei. Dalam 10 tahun ini, IPK Indonesia hanya naik 0,8. Artinya, pemberantasan korupsi 10 tahun ini tidak menunjukkan perubahan berarti.
Korupsi menjangkiti semua instansi dan lembaga, baik parpol, birokrasi, legislatif dan yudikatif. Kasus Nazarudin sang bendahara Parpol berkuasa, kasus korupsi di Kemenakertrans, korupsi wisma atlet SEA GAMES Palembang, mafia anggaran di DPR, banyaknya pegawai muda memiliki rekening bejibun, puluhan kepala daerah terjerat korupsi, jaksa dan hakim tertangkap korupsi dan menerima suap, dsb, secara nyata menjadi buktinya.
Akar penyebabnya tak lain adalah sistem politik yang berbiaya tinggi. Perlu modal besar untuk membiayai proses politiknya. Besarnya biaya itu tak sebanding dengan perolehan yang sah. Dari mana lagi menutupinya kalau bukan dengan korupsi, kolusi dan manipulasi? Itulah sistem politik demokrasi.
UU Represif dan Liberal
Tahun ini, rakyat dihadiahi UU Intelijen. UU ini berpotensi mengancam kebebasan dan hak-hak privasi rakyat. Banyaknya istilah, definisi dan pasal multi tafsir memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang demi kekuasaan. Adanya wewenang penyadapan, pemeriksaan rekening dan penggalian informasi berpotensi menjadi alat represif dan melanggar hak-hak privasi rakyat. Celakanya bagi orang yang merasa dilanggar hak dan privasinya oleh intelijen, tidak ada mekanisme untuk mengadu dan mendapatkan keadilan. Potensi lahirnya rezim represif itu makin besar dengan dibahasnya RUU Kamnas dan RUU Ormas yang senafas dengan UU Intelijen.
Disisi lain, UU BPJS dan UU Pengadaan Lahan untuk Pembangunan menambah daftar UU liberal yang menyengsarakan rakyat. UU BPJS dan UU SJSN dengan spirit neoliberal membenarkan negara berlepas tangan dari menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat, khususnya kesehatan. Atas nama UU, beban itu dilimpahkan ke pundak rakyat. Rakyat wajib membiayai sendiri dan saling membiayai jaminan kesehatan melalui skema asuransi sosial. Dengan UU ini setiap rakyat diwajibkan menjadi peserta asuransi sosial dan wajib membayar premi. Maka yang pasti, beban di pundak rakyat makin berat. Seolah belum cukup beban dan penderitaan rakyat akibat berbagai UU bernafas liberal, DPR dan Pemerintah pun giat membahas RUU lainnya seperti RUU Pangan, RUU Perguruan Tinggi dan RUU lainnya. Semuanya kental dengan ideologi liberal yang mengancam rakyat.
Gejolak Papua
Gejolak di Papua diantaranya adalah dampak perebutan kekuasaan dalam Pilkada seperti yang terjadi di Kabupaten Puncak dan mengakibatkan 20 orang lebih tewas pada Juli silam. Gejolak juga terjadi berkaitan dengan keberadaan PT Freeport Indonesia (PTFI). Terjadi pemogokan karyawan PTFI dan berujung bentrokan dengan aparat menewaskan dua orang pada Oktober silam. Gejolak lainnya terkait separatisme untuk memisahkan Papua.
Sementara itu, kekerasan lain yang terus terjadi di Papua adalah rangkaian penembakan yang diduga dilakukan oleh OPM. Rangkaian penembakan itu telah menjadi teror tersendiri dan memakan korban tewas 12 orang termasuk Kapolsek Mulia. Ironisnya, meski sudah berupa teror dan menimbulkan korban tewas, semua itu tidak pernah disebut dan ditindak seperti terorisme. Mereka dianggap sebagai pelaku kriminal biasa. Lebih parah lagi sebagian besar pelakunya belum tertangkap.
Ironi Deradikalisasi
Salah satu proyek yang dengan sangat semangat dilakukan pemerintah adalah deradikalisi. Didukung anggaran yang meningkat menjadi lebih dari Rp 400 milyar, proyek deradikalisasi ini menjadikan Islam dan umat Islam sebagai target utama. Diantara kriteria radikal yang digunakan adalah mereka yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam dalam negara dan mereka yang menggangap Amerika Serikat sebagai biang kezaliman global. Syariah Islam justru dianggap ancaman. Itulah ironi negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini. Muslim yang menentang penjajahan brutal Amerika pun dianggap musuh.
Pemerintah dalam proyek ini banyak mengadopsi rekomendasi lembaga kajian asing seperti Rand Corporation. Menurut lembaga kajian asal Amerika ini, deradikalisasi adalah proses memoderatkan keyakinan seseorang (Rand Corporation, 2010, Deradicalizing Islamist Extremist, hal. 5). Maka deradikalisasi itu adalah upaya membuat kaum muslim menjadi liberal, moderat, pluralis, menerima sekulerisme dan kapitalisme serta tidak anti AS dan Barat. Tentu saja yang dirugikan adalah umat Islam. Sebaliknya itu akan melanggengkan penjajahan dan menguntungkan asing terutama AS.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pertama, Setiap sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT, Zat Maha Tahu, pasti akan menimbulkan kerusakan dan akhirnya tumbang. Rapuhnya kapitalisme dengan berbagai bentuk kerusakan dan segala dampak ikutan yang ditimbulkannya berupa kemiskinan dan kesenjangan kaya miskin serta ketidakstabilan ekonomi dan politik, seperti yang saat ini terjadi di berbagai belahan dunia adalah bukti nyata. Kenyataan ini semestinya menyadarkan kita semua untuk bersegera kembali kepada jalan yang benar, yakni jalan yang diridhai oleh Allah SWT, dan meninggalkan semua bentuk sistem dan ideologi kufur. Allah SWT berfirman:
Kedua, Sekuat apapun sebuah rezim yang otoriter, korup, menindas rakyat dan durhaka kepada Allah SWT, meski telah dijaga dengan kekuatan senjata dan didukung oleh negara adidaya, cepat atau lambat pasti akan tumbang dan tersungkur secara tidak terhormat. Jatuhnya Ben Ali, Mubarak, Qaddafi, Ali Abdullah Saleh dan mungkin segera menyusul penguasa Suria Bashar Assad, serta penguasa lalim di negara lain, adalah bukti nyata. Kenyataan ini semestinya memberikan peringatan kepada penguasa dimanapun untuk menjalankan kekuasaannya dengan benar, penuh amanah demi tegaknya kebenaran, bukan demi memperturutkan nafsu serakah kekuasaan dan kesetiaan pada negara penjajah. Pembuatan berbagai UU yang bakal membungkam aspirasi rakyat, seperti UU Intelijen atau RUU Kamnas dan yang serupa di negeri ini, mungkin sesaat akan berjalan efektif, tapi cepat atau lambat itu semua justru akan memukul balik penguasa itu sendiri.
Ketiga, Oleh karena itu, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan yang tengah membelit negeri ini, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itulah syariah Allah dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu. Di sinilah esensi seruan “Selamatkan Indonesia dengan Syariah” yang gencar diserukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Karena hanya dengan sistem berdasar syariah dengan menegakkan Khilafah yang dipimpin oleh orang amanah (Khalifah) saja Indonesia benar-benar bisa menjadi baik. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
*
Rakyat Nganggur dan Miskin di Negeri Kaya
APBN-P 2011 sebesar Rp 1.321 triliun meningkat Rp 279 triliun. Namun, utang Pemerintah juga meningkat. Dari Statistik Utang Kemenkeu, per Oktober 2011 utang Pemerintah mencapai Rp 1.768 triliun. Maka 20% dari APBN (Rp 266,3 triliun ) pun habis hanya untuk membayar utang dan bunganya.
Diperkirakan, tahun 2011 angka pertumbuhan 6,5% dan PDB mencapai US$ 752 miliar. Menurut Majalah Forbes yang dirilis November lalu, dari jumlah itu 11 % atau US$ 85,1 miliar dimiliki hanya oleh 40 orang terkaya di negeri ini. Hal ini menunjukkan lebarnya kesenjangan dan buruknya distribusi kekayaan di negeri ini.
Di sisi lain, berdasarkan data BPS tahun 2011 terdapat 8,12 juta orang menganggur. Sementara data Kadin, justru ada tambahan 1,3 juta penganggur tiap tahun. Sebab tambahan lapangan kerja hanya 1,61 juta sementara tambahan tenaga kerja baru mencapai 2,91 juta orang (lihat, Republika, 15/12).
Angka kemiskinan pun tetap tinggi. Berdasarkan Data BPS tahun 2011 di negeri ini ada 30 juta orang miskin dengan standar kemiskinan yaitu pengeluarannya kurang dari 230 ribu/bulan. Jika ditambahkan dengan yang ‘hampir miskin’ (pengeluarannya Rp 233-280 ribu/bulan), jumlahnya menjadi 57 juta orang atau 24% dari penduduk negeri ini. Apalagi kalau menggunakan standar Bank Dunia (pengeluaran kurang dari US$ 2 per hari) maka ada lebih dari 100 juta orang miskin di negeri ini. Sungguh ironi.
Kekayaan alam begitu melimpah di negeri ini. Tapi sebagian besarnya dikuasai asing. Tentu hasilnya lebih banyak dinikmati asing. Contohnya, Freeport yang sudah bercokol 40 tahun di bumi Papua, antara tahun 2004 -2008 pendapatannya US$ 19,893 milyar (sekitar Rp 198 triliun). Sementara pemerintah selama 5 tahun itu hanya menerima Rp 41 triliun dalam bentuk pajak dan royalti.
Kenapa semua itu bisa terjadi? Kesenjangan, kemiskinan, pengangguran, penguasaan asing dan swasta atas kekayaan negeri dan sebagainya itu, tak lain akibat diterapkannya sistem kapitalisme di negeri ini.
Korupsi Makin Menjadi
Menurut survei Transparency International yang dilansir pada bulan Desember 2011, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negeri ini hanya 3.0 (skala 0 terkorup - 10 terbersih). Indonesia menempati rangking 100 dari 183 negara yang disurvei. Dalam 10 tahun ini, IPK Indonesia hanya naik 0,8. Artinya, pemberantasan korupsi 10 tahun ini tidak menunjukkan perubahan berarti.
Korupsi menjangkiti semua instansi dan lembaga, baik parpol, birokrasi, legislatif dan yudikatif. Kasus Nazarudin sang bendahara Parpol berkuasa, kasus korupsi di Kemenakertrans, korupsi wisma atlet SEA GAMES Palembang, mafia anggaran di DPR, banyaknya pegawai muda memiliki rekening bejibun, puluhan kepala daerah terjerat korupsi, jaksa dan hakim tertangkap korupsi dan menerima suap, dsb, secara nyata menjadi buktinya.
Akar penyebabnya tak lain adalah sistem politik yang berbiaya tinggi. Perlu modal besar untuk membiayai proses politiknya. Besarnya biaya itu tak sebanding dengan perolehan yang sah. Dari mana lagi menutupinya kalau bukan dengan korupsi, kolusi dan manipulasi? Itulah sistem politik demokrasi.
UU Represif dan Liberal
Tahun ini, rakyat dihadiahi UU Intelijen. UU ini berpotensi mengancam kebebasan dan hak-hak privasi rakyat. Banyaknya istilah, definisi dan pasal multi tafsir memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang demi kekuasaan. Adanya wewenang penyadapan, pemeriksaan rekening dan penggalian informasi berpotensi menjadi alat represif dan melanggar hak-hak privasi rakyat. Celakanya bagi orang yang merasa dilanggar hak dan privasinya oleh intelijen, tidak ada mekanisme untuk mengadu dan mendapatkan keadilan. Potensi lahirnya rezim represif itu makin besar dengan dibahasnya RUU Kamnas dan RUU Ormas yang senafas dengan UU Intelijen.
Disisi lain, UU BPJS dan UU Pengadaan Lahan untuk Pembangunan menambah daftar UU liberal yang menyengsarakan rakyat. UU BPJS dan UU SJSN dengan spirit neoliberal membenarkan negara berlepas tangan dari menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat, khususnya kesehatan. Atas nama UU, beban itu dilimpahkan ke pundak rakyat. Rakyat wajib membiayai sendiri dan saling membiayai jaminan kesehatan melalui skema asuransi sosial. Dengan UU ini setiap rakyat diwajibkan menjadi peserta asuransi sosial dan wajib membayar premi. Maka yang pasti, beban di pundak rakyat makin berat. Seolah belum cukup beban dan penderitaan rakyat akibat berbagai UU bernafas liberal, DPR dan Pemerintah pun giat membahas RUU lainnya seperti RUU Pangan, RUU Perguruan Tinggi dan RUU lainnya. Semuanya kental dengan ideologi liberal yang mengancam rakyat.
Gejolak Papua
Gejolak di Papua diantaranya adalah dampak perebutan kekuasaan dalam Pilkada seperti yang terjadi di Kabupaten Puncak dan mengakibatkan 20 orang lebih tewas pada Juli silam. Gejolak juga terjadi berkaitan dengan keberadaan PT Freeport Indonesia (PTFI). Terjadi pemogokan karyawan PTFI dan berujung bentrokan dengan aparat menewaskan dua orang pada Oktober silam. Gejolak lainnya terkait separatisme untuk memisahkan Papua.
Sementara itu, kekerasan lain yang terus terjadi di Papua adalah rangkaian penembakan yang diduga dilakukan oleh OPM. Rangkaian penembakan itu telah menjadi teror tersendiri dan memakan korban tewas 12 orang termasuk Kapolsek Mulia. Ironisnya, meski sudah berupa teror dan menimbulkan korban tewas, semua itu tidak pernah disebut dan ditindak seperti terorisme. Mereka dianggap sebagai pelaku kriminal biasa. Lebih parah lagi sebagian besar pelakunya belum tertangkap.
Ironi Deradikalisasi
Salah satu proyek yang dengan sangat semangat dilakukan pemerintah adalah deradikalisi. Didukung anggaran yang meningkat menjadi lebih dari Rp 400 milyar, proyek deradikalisasi ini menjadikan Islam dan umat Islam sebagai target utama. Diantara kriteria radikal yang digunakan adalah mereka yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam dalam negara dan mereka yang menggangap Amerika Serikat sebagai biang kezaliman global. Syariah Islam justru dianggap ancaman. Itulah ironi negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini. Muslim yang menentang penjajahan brutal Amerika pun dianggap musuh.
Pemerintah dalam proyek ini banyak mengadopsi rekomendasi lembaga kajian asing seperti Rand Corporation. Menurut lembaga kajian asal Amerika ini, deradikalisasi adalah proses memoderatkan keyakinan seseorang (Rand Corporation, 2010, Deradicalizing Islamist Extremist, hal. 5). Maka deradikalisasi itu adalah upaya membuat kaum muslim menjadi liberal, moderat, pluralis, menerima sekulerisme dan kapitalisme serta tidak anti AS dan Barat. Tentu saja yang dirugikan adalah umat Islam. Sebaliknya itu akan melanggengkan penjajahan dan menguntungkan asing terutama AS.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pertama, Setiap sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT, Zat Maha Tahu, pasti akan menimbulkan kerusakan dan akhirnya tumbang. Rapuhnya kapitalisme dengan berbagai bentuk kerusakan dan segala dampak ikutan yang ditimbulkannya berupa kemiskinan dan kesenjangan kaya miskin serta ketidakstabilan ekonomi dan politik, seperti yang saat ini terjadi di berbagai belahan dunia adalah bukti nyata. Kenyataan ini semestinya menyadarkan kita semua untuk bersegera kembali kepada jalan yang benar, yakni jalan yang diridhai oleh Allah SWT, dan meninggalkan semua bentuk sistem dan ideologi kufur. Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS ar-Rum [30]: 41)Kedua, Sekuat apapun sebuah rezim yang otoriter, korup, menindas rakyat dan durhaka kepada Allah SWT, meski telah dijaga dengan kekuatan senjata dan didukung oleh negara adidaya, cepat atau lambat pasti akan tumbang dan tersungkur secara tidak terhormat. Jatuhnya Ben Ali, Mubarak, Qaddafi, Ali Abdullah Saleh dan mungkin segera menyusul penguasa Suria Bashar Assad, serta penguasa lalim di negara lain, adalah bukti nyata. Kenyataan ini semestinya memberikan peringatan kepada penguasa dimanapun untuk menjalankan kekuasaannya dengan benar, penuh amanah demi tegaknya kebenaran, bukan demi memperturutkan nafsu serakah kekuasaan dan kesetiaan pada negara penjajah. Pembuatan berbagai UU yang bakal membungkam aspirasi rakyat, seperti UU Intelijen atau RUU Kamnas dan yang serupa di negeri ini, mungkin sesaat akan berjalan efektif, tapi cepat atau lambat itu semua justru akan memukul balik penguasa itu sendiri.
Ketiga, Oleh karena itu, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan yang tengah membelit negeri ini, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itulah syariah Allah dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu. Di sinilah esensi seruan “Selamatkan Indonesia dengan Syariah” yang gencar diserukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Karena hanya dengan sistem berdasar syariah dengan menegakkan Khilafah yang dipimpin oleh orang amanah (Khalifah) saja Indonesia benar-benar bisa menjadi baik. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar
Studi Bank Dunia: Kelas menengah yaitu mereka yang pengeluarannya US$ 2-20 per hari 56,5% dari 237 juta penduduk Indonesia atau sekitar 134 juta orang. Namun dari jumlah itu, yang masuk kategori belanja US$ 6 - 20 per hari hanya 14 juta orang. Lainnya, tidak mandiri dan rentan menjadi miskin (lihat, Kompas, 20/12).
- Artinya, kelas menengah yang benar-benar kaya hanya 14 juta orang (5,6 % dari penduduk Indonesia). Sementara 120 juta orang (50,6% dari penduduk Indonesia) tidak mandiri dan rentan menjadi miskin. Di luar itu, lebih dari 100 juta orang (atau sekitar 45 % penduduk Indonesia) terkategori miskin menurut standar Bank Dunia.
- Itulah prestasi sistem kapitalisme: kesenjangan yang lebar, distribusi kekayaan yang tak adil, memiskinkan mayoritas rakyat dan sebaliknya menumpuk kekayaan pada sebagian sangat kecil dari rakyat.
- Terapkan Sistem Ekonomi Islam, niscaya kesenjangan menyempit dan hampir hilang, kekayaan terdistribusi secara adil. Kesejahteraan dan kemakmuran bisa dirasakan oleh semua.
0 komentar:
Posting Komentar