"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (TQS. al-Ahzab [33]:21).
Untuk menjalani kehidupan dengan benar, manusia memerlukan petunjuk yang benar. Di samping juga dibutuhkan figur teladan untuk ditiru. Dengan figur teladan, petunjuk kebenaran itu akan lebih mudah diaplikasikan dalam perbuatan. Sebagaimana petunjuknya yang benar, figurnya pun harus benar. Apabila figur panutannya salah, para pengikutnya pun dipastikan mengalami kesalahan.
Bagi umat Islam, tidak perlu repot mencari figur teladan. Sebab Allah SWT telah menjadikan RasuluIllah SAW sebagai teladan yang baik. Siapa pun yang berharap bahagia, tidak ada pilihan lain kecuali meneladani kehidupannya. Inilah yang ditegaskan dalam QS al-Ahzab [33]:21.
Teladan yang Baik
Allah SWT berfirman: Laqad kaana lakum fi Rasuulil-Laah uswah hasanah (sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu). Sebagaimana dinyatakan Sihabuddin al-Alusi dan Abu Hayyan al-Andalusi, seruan ayat ini ditujukan kepada kaum Muslim. Sedangkan, kata uswah hasanah berarti qudwah shaalihah (panutan yang baik). Demikian al- Syaukani dan al-Jazairi dalam kitab tafsir mereka.
Ayat ini berada di antara ayat-ayat yang menceritakan seputar Perang Ahzab. Dalam ayat sebelumnya diberitakan mengenai orang-orang yang enggan berperang. Oleh karena itu, ayat ini memberikan teguran terhadap mereka, bahwa Rasulullah SAW adalah teladan yang baik bagi kalian ketika beliau keluar untuk berperang ke Khandaq untuk menolong agama Allah SWT. Kesabaran, keteguhan, dan kesungguhan beliau dalam menghadapi musuh merupakan teladan yang baik bagi kaum Mukmin. Namun sebagaimana ditegaskan al-Syaukani, kendati sebabnya khusus, namun ayat ini berlaku umum, mencakup segala hal. Ibnu Katsir juga menyatakan, ayat yang mulia ini menjadi pangkal besar untuk meneladani Rasulullah SAW, dalam semua perkataan, perbuatan, dan keadaannya.
Ketetapan ini sejalan dengan banyak ayat lainnya yang memerintahkan kaum Muslim untuk mengikuti Rasulullah SAW, seperti dalam QS al-Hasyr [59]: 7. Bahkan ditegaskan, barangsiapa yang menaati Rasulullah SAW sesungguhnya telah menaati Allah (lihat: QS al-Nisa'[4]:80). Tak aneh jika kesediaan menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim pemutus perkara dalam perselisihan dijadikan sebagai bukti keimanan (lihat: QS al-Nisa [4]: 65).
Kemudian Allah SWT memberikan pujian kepada orang yang bersedia menjadikan beliau sebagai teladan. Allah SWT berfirman: liman kaana yarjuul-Laah wa al-yawm al-aakhir ([yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] hari kiamat). Maksud dengan berharap kepada Allah SWT adalah berharap kepada rahmat, pahala, dan ridha-Nya. Mereka berharap kepada akhirat karena pada saat itu Allah SWT memberikan balasan berupa surga yang penuh dengan kenikmatan. Harapan itulah yang mendorong mereka mengikuti Rasulullah SAW. Juga mendorong mereka mengerjakan berbagai amal shalih lainnya, seperti yang diberitakan Allah SWT dalam firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi (TQS Fathir [35]: 29).
Di samping itu, mereka juga: wa dzakaral-Laah katsiir[an] (dan dia banyak menyebut Allah). Mereka mengingat dan menyebut Allah SWT dalam berbagai tempat, di saat ramai maupun sepi. Demikian tutur al-Khazin. Dalam QS Ali Imran [3]: 191 disebutkan bahwa di antara ciri uli al-albaab adalah orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring. Banyak mengingat Allah SWT akan mengantarkan pelakunya untuk mengikuti rasul-Nya. Allah SWT berfirman: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (TQS Ali Imran [3]: 31). Penggalan terakhir ayat ini: Liman kaana yarjuul-Laah wa al-yawm al-aakhir wa dzakaral-Laah katsir[an] menjadi indikasi wajibnya meneladani Rasulullah SAW.
Makna Meneladani
Meneladani Rasulullah SAW bukan berarti harus mengerjakan semua perbuatan persis seperti yang diperbuat Rasulullah SAW. Sebab, perbuatan yang dikerjakan Rasulullah ada yang berhukum wajib, sunnah, atau mubah. Bahkan ada juga perbuatan yang menjadi kekhususan bagi beliau dan haram ditiru oleh umatnya.
Meneladani Rasulullah SAW adalah dengan mengerjakan perbuatan seperti perbuatan yang beliau kerjakan, sesuai dengan ketetentuan hukum yang beliau tetapkan, dan itu dilakukan dengan niat untuk mengikuti beliau. Oleh karena itu, dalam mengikuti Rasulullah SAW harus mengetahui status hukum yang ditetapkannya. Apa pun ketetapan hukum yang berasal dari beliau, kita ikuti dan patuhi. Tanpa boleh membantah atau menyelisihinya. Ketika Rasulullah SAW mewajibkan sesuatu, kita pun turut mewajibkannya. Tatkala beliau mensunnahkannya, kita juga mensunnahkannya. Giliran beliau mengharamkan sesuatu, tidak ada pilihan bagi kita kecuali turut mengharamkannya. Demikian pula pada saat beliau memakruhkan atau memubahkan sesuatu, kita mengikuti ketentuan hukum yang telah ditetapkannya.
Atas dasar itu, seandainya Rasulullah mengerjakan suatu perbuatan yang sunnah, sementara kita rnengerjakannya sebagai hal yang wajib, maka perbuatan kita bukanlah meneladani Nabi SAW. Bahkan itu dinilai bertentangan dengan perintah beliau. Hukumnya pun haram. Walhasil, meneladani Nabi SAW itu adalah kita beramal seperti yang dikerjakan beliau, sesuai dengan arahnya (hukum yang ditetapkannya), dan dimaksudkan untuk mengikuti beliau. Dengan demikian, menjadi keharusan untuk merealisasikan tiga batasan tersebut dalam suatu perbuatan agar perbuatan tersebut termasuk ke dalam kategori meneladani Nabi SAW.
Terapkan Syariah, Tegakkan Daulah
Meneladani Rasulullah SAW juga harus mengikuti semua risalah yang beliau bawa. Allah SWT berfirman: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah (TQS al-Hasyr [59]: 7). Lafadz maa (apa) dalam ayat ini memberikan makna umum; yang berarti meliputi semua perkara. Kaum Muslim wajib mengikuti semua perkara yang disyariahkan Rasulullah SAW. Bukan hanya dalam masalah ibadah, pakaian, makanan, atau akhlak. Namun juga dalam masalah ekonomi, pemerintahan, pendidikan, politik luar negeri, dan sanksi hukum. Untuk itu dibutuhkan daulah (negara) yang menerapkannya dalam kehidupan.
Rasulullah sebagai uswah hasanah telah mempraktikkannya dalam kehidupan. Beliau berjuang keras hingga berhasil mendirikan daulah di Madinah. Beliau terus meluaskan wilayahnya hingga seluruh Jazirah Arab dikuasai. Usaha beliau pun dilanjutkan oleh al-khulafaa al-rasyiiduun. Juga para khalifah sesudahnya. Inilah yang harus kita teladani. Orang yang menyelisihi risalahnya, diancam dengan fitnah dan azab yang pedih (lihat QS al-Nur [24]: 63). Semoga kita tidak termasuk di dalamnya. WalLaah a'lam bi al-shawaab.
0 komentar:
Posting Komentar