Minggu, 09 Januari 2011

Hukum Asuransi Takaful

بسم الله الرحمن الرحيم
Jawab Soal
Pertanyaan:
Apa hukum syara’ tentang perusahaan yang muncul dan tumbuh dengan pesat dan kadang disebut perusahaan asuransi ta’awuni atau takaful atau Islami? Perlu diketahui bahwa para pengusung dan pecintanya mengatakan bahwa asuransi ini berbeda dari asuransi komersial yang haram, karena merupakan kerjasama atau tolong menolong di antara kaum Muslim dalam hal sebagian membantu sebagian yang lain ketika terjadi peristiwa terhadap salah seorang di antara mereka sebagai kompensasi angsuran yang mereka bayarkan? Dalam konteks itu mereka menyebutkan hadits pujian Rasul saw kepada keluarga al-Asy’ariyun atas kerjasama dan tolong menolong mereka sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan terkait masalah tersebut. Kami berharap jawaban secara rinci, semoga Allah SWT memberi balasan yang lebih baik kepada Anda.
Jawab:
Saya telah menelaah masalah yang Anda kirimkan. Demikian pula saya telah menelaah sumber-sumber lain. Dari semua itu telah jelas bagi saya hal-hal berikut:
Pertama, fakta asuransi tersebut:
1.       Asuransi ta’awuni, takaful dan Islami itu dari sisi metode pembentukannya dan aktifitasnya … tidak berbeda (dengan asuransi komersial). Dan hukum dalam masalah itu adalah sama.
2.       Orang-orang yang menjalankannya, mereka memasarkannya bahwa itu adalah tabarru’ (donasi) dari pribadi-pribadi dalam jumlah tertentu untuk membantu sebagian terhadap sebagian yang lain jika terjadi peristiwa bahaya seperti kebakaran, kecelakaan, atau yang lain… Meski demikian, akad itu ditandatangani (dilakukan) dengan mutabarri’ (para donatur) oleh perusahaan asuransi!
3.       Orang-orang yang menjalankannya mengatakan bahwa asuransi ini tidak berdiri dengan maksud mendapat keuntungan, akan tetapi dia adalah kerjasama atau tolong menolong di atas kebaikan dan ketakwaan.
4.       Orang-orang yang menjalankan asuransi ini mengatakan bahwa asuransi ini berbeda dari asuransi komersial yang haram yang berdiri dengan maksud mengejar keuntungan dan menginvestasikan harta yang dibayarkan oleh para nasabah dengan maksud mendapat keuntungan… Dan yang di dalamnya ada gharar dari sisi nasabah (pihak tertanggung) membayar premi keikutsertaannya dan tidak tahu kapan akan terjadi suatu peristiwa terhadapnya!
5.       Orang-orang yang menjalankan asuransi takaful, asuransi Islami, atau asuransi ta’awuni ini dalam menyatakan kesyar’iannya, mereka berdalil kepada hadits al-asy’ariyun, bahwa ketika kelaparan melanda, mereka menempatkan makanan yang ada pada setiap orang dari mereka di satu tempat, lalu mereka makan bersama-sama. Muhammad ibn al-‘Ala telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Hamad ibn Salamah dari Buraid dari Abu Burdah dari Abu Musa, ia berkata: Nabi saw bersabda:
«إِنَّ الْأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ.»
Bahwa keluarga al-Asy’ariyun jika mereka kehabisan bekal di dalam peperangan atau makanan keluarga mereka di Madinah menipis, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki di dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, maka mereka itu bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka (Hr Muttafaq ‘alayh)
6.       Perusahaan yang bersifat tolong menolong (asy-syirkât at-ta’âwuniyah) ini… melakukan reasuransi, yaitu perusahaan asuransi takaful lokal atau kecil memberikan premi-premi dari tertanggung yang dimilikinya kepada perusahaan asuransi besar agar mengelola harta dan menginvestasikannya…
Berikut adalah apa yang dinyatakan di dalam buku-buku, leaflet-leaflet mereka seputar reasuransi:
(Karena perusahaan asuransi kecil tidak bisa menutupi kompensasi bahaya-bahaya besar, dan tidak mampu menanggung asuransi yang lebih berresiko terhadap kapal dan pesawat, oleh karena itu kita mendapati diri kita terpaksa, supaya bisa terjamin, untuk mengasuransikan kepada perusahaan-perusahaan asuransi raksasa yang ada di ibukota negara besar seperti Eropa dan Amerika dan ini disebut reasuransi)
7.       Orang-orang yang menjalankan asuransi ta’awuni ini.. mereka tidak mengingkari pengharaman asuransi komersial. Karena fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga tentang pengharaman asuransi komersial, mereka akui kesyar’iannya, misalnya:
-          Haiah Kibâr al-‘Ulamâ’ di Saudi
-          Majma’ al-Fiqh al-Islâmî ad-Dawlî di bawah OKI yang bermarkas di Jedah
-          Al-Majma’ al-Fiqhî al-Islâmî dibawah Rabithah al-‘Alam al-Islami dan bermarkas di Mekah
-          Majma’ Buhûts al-Islâmiyah di al-Azhar
Hanya saja, mereka mengatakan bahwa asuransi ta’awuni berbeda dengan asuransi komersial sehingga asuransi ta’awuni adalah halal. Mereka menganggapnya sebagai tabarru’ (donasi), bukan investasi komersial. Mereka mengganggapnya tidak melakukan reasuransi kepada perusahaan asuransi komersial… Mereka berupaya mengeksploitasi keputusan Haiah Kibar Ulama Saudi pada tanggal 4/4/1397 dalam mempromosikan asuransi ini.
Dalam rangka memberikan penjelasan, kami memandang baik untuk menjelaskan bagaimana keputusan itu dikeluarkan dan bagaimana Haiah mengoreksi keputusannya, meski Haiah terkait dengan pemerintah… Di dalam hal itu apa yang ada. Akan tetapi supaya fair kami sebutkan apa yang terjadi:
Orang-orang yang menjalankan asuransi ta’awuni itu menyodorkan perkara kepada Haiah Kibar Ulama Saudi bahwa asuransi yang mereka jalankan adalah tabarru’ untuk kebaikan dan ketakwaan, bukan dengan tujuan investasi atau keuntungan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Maka Haiah mengambil keputusan pada tanggal 4/4/1397 H dengan nomor 51. Di dalam keputusan itu Haiah memperbolehkan asuransi ta’awuni berdasarkan informasi-informasi yang diberikan kepada Haiah. Haiah di awal keputusannya mengatakan:
(Asuransi ta’awuni termasuk akad tabarru’ (donasi) yang dimaksudkan untuk mengantarkan pada tolong menolong terhadap kepingan-kepingan bahaya dan partisipasi dalam menanggung tanggungjawab ketika terjadi bencana. Hal itu dengan jalan kontribusi seseorang dengan sejumlah uang tertentu yang dikhususkan untuk memberi kompensasi orang yang ditimpa bahaya. Kelompok asuransi ta’awuni tidak bertujuan komersial, ataupun keuntungan finansial dari harta selain mereka. Melainkan mereka bertujuan mendistribusikan bahaya diantara mereka dan tolong menolong untuk memikul bahaya…) selesai.
Keputusan itu ditutup dengan permintaan dari Haiah (Hendaknya sekelompok ahli dalam masalah ini yang dipilih oleh negara menetapkan point-point rinci untuk perusahaan asuransi ta’awuni ini. Setelah mereka selesai melakukan hal itu, apa yang mereka tulis disampaikan kepada majlis Haiah Kibar Ulama untuk dipelajari dan dikaji berdasarkan kaedah-kaedah syariah, wallâh al-muwaffiq).
Jelas dari keputusan Haiah bahwa Haiah menganggap asuransi ta’awuni itu sebagai tabarru’ (donasi). Di dalamnya tidak ada ruang untuk keuntungan atau mencari keuntungan. Karena sifat aktifitas itu sebagai akad tabarru’ bukan mu’awadhah dari dua pihak. Anggapan Haiah itu berdasarkan informasi-informasi yang diberikan kepada Haiah oleh orang-orang yang menjalankan asuransi ta’awuni itu.
Karena asuransi yang disebutkan ternyata bukan tabarru’, dan perusahaan menyadari hal itu, maka perusahaan berupaya memasarkan aktifitas-aktifitasnya dengan memanfaatkan keputusan Haiah itu. Hal itu mendorong Komite Tetap Pembahasan Ilmiah (al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-‘Ilmiyah) di Haiah mengeluarkan penjelasan yang di dalamnya dinyatakan: (amma ba’du. Sebelumnya telah dikeluarkan oleh Haiah Kibar Ulama keputusan pengharaman asuransi komersial dengan semua jenisnya dikarenakan di dalamnya terdapat dharar dan bahaya besar dan memakan harta manusia dengan cara batil… Sebagaimana telah dikeluarkan oleh Haiah Kibar Ulama akan kebolehan asuransi ta’awuni yaitu asuransi yang dibentuk dari donasi para dermawan dan dimaksudkan untuk membantu orang yang membutuhkan dan mendapat bencara (kesusahan), dan tidak ada pengembalian apapun bagi orang-orang yang berpartisipasi -baik modal, keuntungan ataupun returinvestatif apapun-. Karena maksud orang yang berpartisipasi adalah untuk mendapat pahala Allah SWT dengan membantu orang yang membutuhkan, bukan mengharap pengembalian duniawi. Hal itu tercakup dalam firman Allah :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS al-Maidah [5]: 2)

Dan tercakup dalam sabda Rasul saw :
وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا دَامَ اَلْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ
Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba menolong saudaranya

Ini adalah jelas dan tidak ada keraguan. Akan tetapi pada waktu-waktu belakangan dari beberapa lembaga dan perusahaan muncul, penyelimutan perkara atas masyarakat dan terjadi perubahan atau pemutarbalikan kebenaran, di mana asuransi komersial yang haram disebut asuransi ta’awuni. Pendapat tentang kebolehannya dinisbatkan kepada Haiah Kibar Ulama dalam rangka mengelabuhi masyarakat dan untuk propaganda perusahaan-perusahaan mereka. Haiah Kibar Ulama berlepas diri dari aktifitas itu secara total. Karena keputusan Haiah adalah jelas dalam membedakan antara asuransi komersial dan asuransi ta’awuni. Perubahan nama tidak bisa merubah hakikat. Dalam rangka memberikan penjelasan kepada masyarakat dan membongkar kover dan mengungkap kebohongan dan pemalsuan, maka penjelasan in dikeluarkan) selesai. (sumber: Bayânât wa Fatâwâ Muhimmah, al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’, Dar Ibn al-Jawzi, Damam, Saudi. 1999/1421).
Kedua, asuransi ini tidak berbeda dari asuransi komersial kecuali hanya dengan permainan kata saja:
1.       Asuransi ini bukanlah ta’awun dalam rangka kebaikan dan ketakwaan. Akan tetapi dia merupakan investasi untuk harta yang dibayarkan dan mendistribusikan keuntungan kepada orang-orang yang berpartisipasi. Akan tetapi tidak mereka namanan keuntungan atau bunga, sebagaimana penyebutan oleh perusahaan-perusahaan asuransi komersial, bank. Tetapi mereka sebut “surplus”!
2.       Asuransi ta’awuni (takafuli) bukanlah tabarru’. Akan tetapi, partisipasi dengan saham seperti dalam asuransi komersial. Buktinya adalah bahwa partisipan di dalam asuransi ini seandainya tidak diberi keuntungan atas partisipasinya dengan apa yang disebut “surplus”, maka ia akan mengeluh dan mengajukan komplain. Seandainya itu adalah tabarru’ maka ia tidak akan memiliki hak itu. Demikian juga, tabarru’ adalah tasharruf dari satu pihak saja. Tidak perlu penandatanganan akad dan syarat-syarat yang menjadi obyek negosiasi… Karena orang yang berderma maka perannya berakhir dengan donasinya itu.
3.       Asuransi ta’awuni merupakan investasi harta para partisipan. Dana donasi tidak ditempatkan di kotak tanpa investasi. Maka itu sama seperti investasi harta asuransi komersial…
4.       Ia juga mengatakan reasuransi. Yaitu memberikan harta perusahaan kepada perusahaan besar yang lebih mampu melakukan investasi sebagaimana yang dilakukan oleh asuransi komersial…
5.       Manajemen urusannya dilakukan oleh direksi yang mewakili para partisipan sesuai partisipasi mereka “saham mereka”. Orang yang partisipasinya lebih banyak maka dia yang mengendalikan di dalam Dewan Direksi, seperti asuransi komersial.
6.       Gharar terjadi di dalamnya seperti asuransi komersial. Jadi orang yang berpartisipasi tidak tahu kapan peristiwa akan terjadi terhadapnya…
7.       Program-program asuransi tersebut tidak berbeda dari program-program asuransi komersial. Diantaranya program asuransi kebakaran, kecelakaan, komoditas laut, darat dan udara, kapal, minyak dan gas… Perbedaannya hanyalah, asuransi komersial menyebut asuransi secara gamblang, sedangkan asuransi takafuli di dalam programnya tertulis: program asuransi takaful untuk kebakaran, program asuransi takaful atas kecelakaan, program asuransi takaful atas komoditas darat, udara dan laut…. Dsb.
Ketiga, pendapat bahwa asuransi takaful berbeda dari asuransi komersial dari sisi bahwa asuransi ta’awuni, takafuli, atau asuransi Islami memiliki dalil syara’. Yaitu hadits al-Asy’ariyun. Ini adalah istidlal yan tidak benar. Karena hadits al-Asy’ariyun adalah setelah terjadinya kejadian. Mereka tolong menolong dalam menghadapi kejadian yang telah terjadi, dan pada paceklik, kelaparan, atau bencana yang mereka hadapi dengan masing-masing menyerahkan apa yang bisa digunakan untuk menghadapi kejadian itu, bukannya mereka berserikat dalam membayar sebelum terjadinya kejadian.
Teks hadits itu jelas:
«إِنَّ الْأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ.»
Bahwa keluarga al-Asy’ariyun jika mereka kehabisan bekal di dalam peperangan atau makanan keluarga mereka di Madinah menipis, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki di dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata diantara mereka dalam satu wadah, maka mereka itu bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka (Hr Muttafaq ‘alayh)
Jadi mereka jika kehabisan bekal mereka… maka pada saat itu mereka mengumpulkan apa yang ada pada mereka di satu pakaian dan mereka bagi sama rata.
Keempat, hukum syara’ dalam hal asuransi ini adalah haram. Hal itu:
1.       Asuransi ini bukan tabarru’. Jadi asuransi ini tidak boleh dibahas berdasarkan asas sebagai tabarru’.
2.       Asuransi ini adalah pertanggungan (dhamân) dari perusahaan asuransi yang terbentuk dari orang-orang yang berserikat terhadap partisipan yang mengalami kejadian. Karena itu syarat-syarat pertangungan (adh-dhamân) di dalam Islam wajib diterapkan terhadapnya:
a.       Di sana wajib ada hak yang wajib ditunaikan yang berada di dalam tanggungan. Yaitu bahwa kejadian yang terjadi kemudian perusahaan memberikan pertanggungan kepada seseorang yang mengalami kejadian. Artinya membayar konsekuensi yang muncul dari kejadian itu.
b.      Di sana harus tidak ada kompensasi. Yakni penanggung tidak mengambil kompensasi baik disebut keuntungan atau surplus atau partisipasi (premi)…
c.       Akad syirkah asuransi harus merupakan akad yang syar’i dengan memenuhi syarat-syarat syirkah di dalam Islam. Yaitu adanya harta dan badan, bukan syirkah harta saja. Asuransi yang dipaparkan untuk dibahas ini adalah syirkah harta. Semuanya hanya menyetor harta. Hingga dewan direksi yang mengelola urusan syirkah adalah representasi dari harta mereka bukan reresentasi bagi badan mereka. Jadi tidak ada seorang pun dari mereka yang berserikat dengan badannya, aka tetapi hanya dengan hartanya. Fakta asuransi itu dilihat dari sisi syirkah adalah sama seperti syirkah musahamah, yaitu syirkah harta.
d.      Di sana tidak boleh ada investasi harta dengan jalan yang tidak syar’i, melalui perusahaan lain, apapun nama dan sebutannya baik disebut investasi ataupun reasuransi…
Dalil-dalil hal itu adalah dalil-dalil syirkah harta dan dalil-dalil adh-dhamân. Semuanya dipaparkan di Nizhâm al-Iqtishâdî.
Ringkasnya, asuransi ta’awuni, takafuli atau Islami tidak memenuhi syarat-syarat adh-dhamân di dalam Islam. Juga tidak memenuhi syarat-syarat syirkah di dalam Islam. Jadi asuransi tersebut secara syar’i tidak boleh.

24 Jumaduts Tsani 1431 H
07 Juni 2010 M

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/21/sj-hukum-asuransi-takaful/
*
Postingan Terkait Lainnya :


0 komentar:

Posting Komentar

 

Hizbut Tahrir Indonesia

SALAFY INDONESIA

Followers