Beberapa kali saya dapati orang yang mengingkari kewajiban untuk sepenuhnya berhukum dengan hukum Allah, mengingkari dosa bagi mereka yang tidak menggunakan hukum Allah dalam menyelesaikan segenap urusan di dunia ini, dan mengingkari dosa bagi mereka yang membuat hukum dengan tanpa merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka mengatakan: “Apakah kita berdosa jika kita membuat aturan lalu-lintas yang tidak ada contohnya di dalam Al Qur’an dan As Sunnah?” dan banyak pertanyaan aneh lainnya yang hanya menyiratkan ketidak-tahuan yang sangat parah terhadap hakekat hukum syara’. Kemudian, ada pembahasan dalam majalah Al Wa’ie Arab yang setelah saya baca ternyata sangat relevan dengan masalah ini. Saya sertakan teks aslinya agar kesalahan bisa dikoreksi [ttk].
****************
Di Lebanon, diterbitkan sebuah kitab kecil berjudul "Jahaalaatun Khothiirotun fii Qodhooyaa I'tiqoodiyyatin Katsiirotin" (Kebodohan yang tidak bisa dianggap remeh dalam perkara-perkara aqidah), yang ditulis oleh Dr. 'Ashim bin Abudullah Al Qoryuti. Secara umum, buku ini merupakan buku yang bagus. Meski demikian, buku ini masih membutuhkan pencermatan pada beberapa bagian tertentu. Kali ini kami ingin memusatkan perhatian pada satu point yang terdapat pada halaman 10, yang berbunyi sebagai berikut:
"Adapun apabila masalahnya didiamkan dalam syariat kita dan syariat tidak menjelaskan tentang kehalalan ataupun keharamannya, maka dibolehkan bagi penguasa umat islam untuk meletakkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang wajib dijalankan oleh manusia ketika di dalamnya terdapat kemashlahatan umum. Di antara contohnya adalah pengaturan arus lalu-lintas dengan ketentuan tertentu, dan yang serupa dengan hal tersebut, maka dalam hal ini tidak dianggap sebagai kesyirikan kepada Allah 'Azza wa Jalla, karena Allah berfirman { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ } (dan barangsiapa tidak berhukum kepada hukum Allah
Catatan Pertama
Perkataan penulis "apabila masalahnya didiamkan olehsyariat kita dan syariat tidak menjelaskan kehalalan ataupun keharamannya", ini merupakan perkataan yang salah, sebab, tidak terdapat satu benda maupun satu perbuatan pun di dalam agama kita kecuali syariat pasti telah menjelaskan hukumnya. Allah berfirman { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الإِسْلاَمَ دِينًا } (pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian, dan aku sempurnakan nikmatku, dan aku ridho islam sebagai agama bagi kalian). Sementara penjelasan hukum tersebut kadangkala terungkap secara jelas dengan menyebut nama sesuatu sekaligus menyebutkan hukumnya, seperti pengharaman bangkai, darah, dan daging babi. Namun kadangkala penjelasan itu terdapat di dalam nash yang bersifat umum, seperti { خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا } (Allah menciptakan bagi kalian segala apa yang ada di bumi ), maka segala sesuatu yang ada di bumi ini berada di bawah cakupan keumuman nash ini, bahwa semua itu mubah kecuali terdapat nash-nash lain yang datang untuk melakukan pengecualian. Terkadang pula, penjelasan tersebut tegak dalam bentuk illat (alasan pensyariatan hukum -pent), sehingga di mana saja illat itu ditemukan, maka hukum berlaku di sana melalui mekanisme qiyas.
Sesungguhnya pendapat yang menyatakan bahwa syariat kita tidak mencakup sebagian perkara berarti menyatakan bahwa Syariat itu memiliki kekuarangan. Maka perkataan ini secara pasti tertolak. Terkadang, seorang mujtahid menggali hukum untuk suatu masalah dan dia menemukannya, namun kadang pula ia menggali hukum untuk masalah lain sementara dia tidak berhasil mendapatkannya. Apabila pandangan seorang mujtahid terbatas, dan dia tidak mendapat petujuk untuk memahami hukum syara' atas perkara yang dia teliti maka tidak diperkenankan baginya atau bagi siapa pun untuk menyatakan bahwa masalah ini tidak ada hukumnya atau bahwa syariah tidak mengurusinya. Maka hendaklah ia menelaahnya sekali lagi, atau menyerahkan urusan itu kepada orang yang lebih pandai darinya { وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ } (dan di atas orang yang berilmu itu masih ada orang yang lebih berilmu) (ungkapan diambil dari Q.S. Yusuf ayat 76, artinya: "dan di atas setiap orang yang memiliki pengetahuan ada Dzat Yang Maha Mengetahui")
Para ulama ushul fiqh ketika menjelaskan masalah ini sebagian dari mereka memegangi pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, dan hukum asal dari perbuatan adalah terikat dengan hukum syara', dan bahwasannya tidak terdapat suatu perbuatan pun kecuali teradapat hukum yang berlaku atas perbuatan tersebut, baik disebut dengan nama maunpun dengan sifat, atau termasuk dalam keumuman nash, atau terdapat tanda padanya (atau illat) yang dapat diambil hukumnya melalui qiyas. Maka berdasarkan pendapat sekelompok dari ulama ushul ini dipercayai bahwa tidak ada satu benda atau perbuatan pun kecuali syara' telah membeberkan hukum syara' atasnya.
Sementara sebagaian ulama ushul fiqh yang lain berkata: Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh syara', maka ia adalah pemaafan (berarti semacam kebolehan). Mereka berargumentasi dengan sabda Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallam : "halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam KitabNya, sedangkan apa yang didiamkan merupakan hal-hal yang dimaafkan bagi kalian". juga sabda beliau shollallaahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang lain: "dan diam terhadap berbagai sesuatu sebagai rahmat bagi kalian, bukan sebagai kealpaan, maka janganlah kalian mengungkit-ungkitnya", kemudian membaca { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا } (dan tidaklah Tuhanmu dalam keadaan lupa), maka berdasarkan pendapat kelompok ini dipercayai bahwa tidak ada sesuatu pun yang dilalaikan oleh syara' atau syara' tidak menjelaskannya, maka apa saja yang dijelaskan menjadi jelas di dalam syariat, dan apa-apa yang tidak dijelaskan maka dia berada dalam ketentuan umum, bahwa dia merupakan hal yang dimaafkan.
Dengan ini tidak ada lagi alasan bagi orang yang menyatakan bahwa syariat telah mengabaikan sebagian masalah dengan tidak menjelaskan status kehalalan atau keharamannya, atau dengan kata lain, syariah telah membiarkan adanya wilayah kosong untuk diisi oleh kebijakan penguasa. Namun demikian, sebagian dari mereka mengalami kekaburan, sehingga menyangka bahwa mubah atau yang dimaafkan itu merupakan daerah kosong atau daerah yang diabaikan oleh syara'.
Catatan Kedua:
Penulis menjadikan masalah pengaturan lalu-lintas sebagai contoh perkara yang tidak dipaparkan kehalalan dan keharamannya oleh syariah, maka kami katakan kepadanya: tidak demikian, justru syariat telah menjelaskan kehalalannya. Pasalnya, telah diketahui bersama bahwa berjalan di jalan raya merupakan perkara yang mubah, sedangkan jalan-jalan merupakan tempat yang tergolong tempat umum. Syara' membolehkan pemakai jalan untuk berjalan baik melalui sisi kanan maupun sisi sebelah kiri. Dia juga dibolehkan untuk memilih jalan mana yang dia kehendaki. Fakta ini telah berlangsung di hadapan Rasul shollallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau mendiamkan/menyetujuinya. Di samping itu, terdapat banyak hadits mengenai adab-adab di jalan. Maka apabila imam memiliki pandangan untuk mengatur lalu-lintas, dengan melarang sebagian perkara mubah dan menetapkan sebagian perkara mubah yang lain maka hal itu dibolehkan, sebab syariah telah memerintahkan untuk taat kepada penguasa selama dia tidak memerintahkan kepada kemasiyatan. Dengan demikian, syariat telah menjelaskan bahwa perintah penguasa dalam mengatur hal-hal yang mubah itu harus ditaati, dan telah menerangkan bahwa berjalan di jalan-jalan umum merupakan bagian dari perkara yang mubah. Dengan demikian, contoh yang dikemukakan ini sebenarnya telah dipaparkan oleh Syariah seraya menjelaskan hukumnya dengan penjelasan yang jelas. Maka tidak dibenarkan bagi siapa saja untuk mengatakan bahwa syariah tidak memaparkannya.
Catatan Ketiga:
Perkataan penulis: Allah berfirman { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ... } (dan barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah -maka mereka orang kafir) dan Dia tidak berfirman «ومن حكم بغير ما أنزل الله...» (dan barangsiapa berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah -maka mereka orang kafir). Pembedaan ini merupakan catatan tambahan dari penulisnya, yang menyingkap secara jelas apa yang ada di dalam pikirannya. Dan apa yang ada di benaknya merupakan perkara yang sangat genting, sebab dia tidak berhenti pada tapal-batas contoh yang dia buat menegai pengaturan masalah lalu-lintas. Dalam benaknya, dia memahami bahwa Allah menurunkan beberapa hukum, dan hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah itu mengatur sebagian aspek kehidupan dan meninggalkan sebagian sisi yang lain. Kita telah terikat dengan hakum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah itu, maka ktia telah berhukum dengan hukum Allah. Dan karena terdapat aspek-aspek lain yang tidak diurusi oleh syariah kita (syariat tidak memaparkan penjelasan mengenai kehalalan dan keharamannya) maka kita harus membahas hukum-hukum mengenai perkara-perkara itu dengan mengunakan hukum yang bukan dari syariat kita (dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah). Atas dasar itu, tidak ada masalah bagi mereka yang berkata: Al Kitab dan As Sunnah merupakan sumber utama di antara sumber-sumber tasyri', namun keduanya bukan satu-satunya sumber. Dan tidak ada masalah pula bagi mereka yang berkata: kita mengambil pelajaran dari pengalaman berbagai bangsa dan umat dalam lapangan pembuatan hukum (artinya, mengimpor produk hukum). Sesungguhnya, gambaran ini merupakan kesesatan. Sebab, meski dibolehkan bagi kita untuk mengambil pelajaran dan umat lain dalam bidang ilmu dan teknologi dan segala hal yang tercakup dalam keumuman hadits "kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian", namun demikian kita tidak dibolehkan menyimpang dari hukum-hukum dalam syariat kita meski hanya seujung rambut. Allah berfirman { وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ } (dan berhati-hatilah terhadap mereka agar jangan sampai mereka memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu). Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda "barang siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak berasal darinya, maka dia -urusan baru itu- tertolak".
Adapun hal-hal yang bisa kita ambil dari pengalaman kita dan pengalaman umat-umat lain berupa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan perkara yang dibolehkan oleh syariat kita. Yang demikian itu serupa dengan pengaturan masalah lalu-lintas di jalan. Sedangkan hadits yang mulian "kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian" merupakan nash yang telah menunjukkan kebolehkan masalah ini, maka kita diberi pilihan untuk mengambilnya dari diri kita sendiri ataupun dari orang lain. Akan tetapi, kita wajib memahami batasan nash ini (urusan dunia kalian..). Batasan tersebut dapat dipahami dari nash yang lain. Ia merupakan perkara lain yang berdiri sendiri. Namun, alangkah baiknya jika disini kita memberikan sedikit rambu-rambu, bahwa urusan-urusan teknis (seperti kedokteran, fisika, kimia, ilmu antariksa, ilmu seputar tumbuhan dan hewan) dan apa-apa yang dihasilkan darinya berupa teknologi, semua itu tergolong perkara mubah, yang tercakup ke dalam batasan hadits ini. Demikian pula dengan perkara-perkara administrasi yang berguna untuk mengatur perkara-perkara mubah itu pun tergolong masalah mubah yang tercakup dalam pengertian hadits ini.
Dengan demikian, pengaturan administrasi, pembahasan dalam berbagai disiplin ilmu, serta aktivitas industri semuanya berjalan di bawah ketentuan hukum yang diturunkan oleh Allah, dan secara majaz tidak salah untuk dikatakan bahwa : ia merupakan hukum atau amal yang dilakukan dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah. Dan tidak benar untuk dikatakan bahwa itu: "merupakan hukum atau amal yang dijalankan dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah". Itu tidak benar, baik secara denotatif maupun konotatif.
Sesungguhnya Allah telah menyeru NabiNya dengan firmanNya: { إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ } (sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al Kitab dengan benar agar enkau memberi putusan hukum di antara manusia dengan apa yang diajarkan oleh Allah kepadamu), dan dengan firmanNya : { وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنْ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ } (dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab dengan haq sebagai pembenar terhadap apa yang turun sebelumnya dan sebagai batu ujian untuknya, maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah). Ayat ini telah memberi batasan, bahwa hukum itu dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Maka apabila kita telah memahami bahwa apa yang diturunkan oleh Allah itu telah cukup dan memadai, maka kita akan memahami bahwa tidak ada ruang bagi hukum yang tidak diturunkan oleh Allah. Sungguh telah datang yang serupa dengan hal itu di dalam hadits Rasulullaah shollallaahu 'alaihi wa sallam : "setiap syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah maka dia batil, meskipun ia berupa seratus syarat", maksudnya: "setiap sayrat yang bertentangan dengan apa yang diturunkan oleh Allah", maka ungkapan "tidak ada di dalam Kitabullah" artinya adalah "bertentangan dengan apa yang ada di dalam Kitabullah".
Dengan demikian, adalah tidak benar orang yang menyatakan :"tidak ada masalah bagi orang yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah", sebab itu sama saja dengan ungkapan : "tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah". Dan kami berharap, semoga sang penulis mengoreksi perkataan tersebut.
Teks Asli:
لا يوجد أمر إلا تعرضت له شريعتنا يوزع في لبنان كتابٌ صغير اسمه «جهالات خطيرة في قضايا اعتقاديه كثيرة»، تأليف الدكتور عاصم بن عبد الله القريوتي وهو كتابٌ جيد بشكل عام، ومع ذلك فإنه لا يخلوا من حاجة إلى الدقة في أماكن عدة. ونحن الآن نود أن نلفت النظر إلى نقطة واحدة وردت في ذيل الصفحة (10) كما يلي: «وأما إذا كان الأمر مسكوتاً عنه في شريعتنا ولم يُتعرَّض له بحلّ أو حُرْمة فيجوز لولي أمر المسلمين أن يضع لذلك أحكاماً وترتيبات يلزم الناس بها لما فيه من المصالح العامة. ومن أمثلة ذلك تنظيم مرور السيارات والسير على جهة معينة ونحو ذلكن فهذا لا يعد من الشرك بالله عز وجل، لأن الله قال: { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ } ولم يقل: «ومن حكم بغير ما أنزل الله...» للفرق بينهما كما تقدم. ولقد كثر من الكاتبين في هذا الموضوع تجاهل هذا التفريق مع أهميته ولهذا اقتضى التنبيه». الملاحظة الأولى: قوله: «إذا كان الأمر مسكوتاً عنه في شريعتنا ولم يتعرض له بحل أو حرمة»، هذا القول خطأ لأنه لا يوجد في الدنيا شيء ولا يوجد فعل إلا وقد بيّنت شريعتنا حكمه، قال تعالى: { وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ } وقال: { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الإِسْلاَمَ دِينًا } . وهذا البيان للأحكام قد يكون صريحاً بتسمية الشيء وتسمية حكمه كتحريم الميتة والدم ولحم الخنزير، وقد يكون هذا البيان بنص عام مثل: { خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا } فيدخل كل شيء في الأرض تحت عموم هذا النص أنه مباح لنا إلا ما جاءت نصوص أخرى تستثنيه، وقد يكون هذا البيان بنصب علامة وهي العلة، فحيث وجدت العلة ينطبق الحكم بالقياس.
إن القول بأن شريعتنا لم تتعرض لبعض الأمور يعني أن الشريعة ناقصة، وهذا قول مردود قطعاً. قد يبحث المجتهد عن حكم مسألة ويجده، وقد يبحث عن حكم آخر ولا يجده. وإذا قصر نظر المجتهد ولم يهتد إلى الحكم الذي يبحث عنه فإنه لا يجوز له أو لغيره أن يقول بأن هذه المسألة لا يوجد لها حكم أو أن الشريعة لم تتعرض لها، فليبحث مرة أخرى أو ليترك الأمر لمن هو أعلم منه { وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ } . علماء أصول الفقه حينما تعرضوا لهذه المسألة فريق منهم جاء بالرأي ذكرناه أعلاه، أي أن الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم والأصل في الأفعال التقيد بالحكم الشرعي وأنه لا يوجد فعل إلا وله حكم ينطبق عليه بالاسم أو الصفة، أو يدخل تحت عموم نص ما، أو نصب عليه أمارة (أي علة) يأخذ حكمها بالقياس. فحسب رأي هذا الفريق من علماء الأصول لا يوجد شيء ولا يوجد فعل إلا وتعرض له الشرع بحكم شرعي. وفريق من علماء أصول الفقه قال: إن ما سكت عنه الشرع بيّن حكمه أنه عفو (أي هو كالمباح) واستدلوا على رأيهم بقوله - صلى الله عليه وسلم - : «الحلال ما أحل الله في كتابه، وما سكت عنه فهو مما عفا لكم» وقوله في حديث آخر: «وسكت عن أشياء رحمة بكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها» وقرأ: { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا } فحسب رأي هذا الفريق لا يوجد شيء أو فعل أهمله الشرع ولم يتعرض له، فما بيّنه صراحة فيها وما لم يبيّنه صراحة يكون داخلاً تحت عموم أنه معفو عنه. فلم يبق عذر لقائل يقول بأن الشريعة تركت أموراً لم تتعرّض لها بحل أو حرمة، أو أن الشريعة تركت مناطق فراغ يملؤها ولي الأمر. بل إن ما يشتبه على بعضهم هو المباح أو العفو فظنوه فراغاً أو ظنوا أن الشرع أهمله. الملاحظة الثانية:
المثل الذي ضربه صاحب العبارة من أن تنظيم شؤون السير هو من الأمور التي لم تتعرض لها الشريعة بحل أو حرمة، فإنّا نقول له: بل تعرضت له الشريعة بالحل. إذ أنه من المعلوم أن السير في الطرقات من الأمور المباحة والطرقات هي من الأماكن العامة، ويباح للسائر أن يمشي عن يمين الطريق أو عن شمالها، ويباح له أن يختار هذا الطريق أو ذلك. وهذا الواقع كان جارياً أمام الرسول - صلى الله عليه وسلم - وأقره، ويوجد في آداب الطريق أحاديث كثيرة. فإذا رأى الإمام أن ينظم السير بمنع بعض المباح وبالإلزام ببعضه الآخر كان له ذلك، لأن الشريعة أمرت بطاعة ولي الأمر ما لم يأمر بمعصية. فتكون الشريعة قد بيّنت أن ولي الأمر أمره مطاع في تنظيم المباحات، وبيّنت أن السير في الطرقات هو من المباحات، فيكون هذا المثل قد تعرضت له الشريعة وبيّنت حكمه بجلاء، فلا يصح لأحد أن يقول بأن الشريعة لم تتعرض له. الملاحظة الثالثة:
قوله: إن الله قال: { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ... } ولم يقل: «ومن حكم بغير ما أنزل الله...». هذا التفريق من صاحب التذييل يكشف بوضوح عما في ذهنه، وهذا الذي في ذهنه خَطِر جداً لأنه لا يتوقف عند حدود المثل الذي ضربه عن تنظيم شؤون السير. في ذهنه أن الله أنزل أحكاماً، هذه الأحكام التي أنزلها تعالج جانباً من مشاكل الحياة وتترك جوانب؛ هذه الأحكام التي أنزلها الله نلتزم بها فنكون قد حكمنا بما أنزل الله؛ وبما أن هناك جوانب أخرى أهملتها شريعتنا (لم تتعرض لها بحلّ أو حرمة) فلا بد لنا أن نبحث عن أحكام لها من غير شريعتنا أي (من غير ما أنزل الله). وبناء على ذلك فلا بأس بمن يقول: الكتاب والسنة هما مصدر رئيسي من مصادر التشريع وليسا المصدر الوحيد، ولا بأس بمن يقول: نحن نستفيد من تجارب الشعوب والأمم في حقل التشريع (أي نستورد التشريع)، إن هذا التصور ضلال. لأنه لو جاز لنا أن نستفيد من الأمم الأخرى في حقل العلم والصناعة وما يندرج تحت عموم: «أنتم أدرى بشؤون دنياكم» فإنه لا يجوز لنا أن نميل قيد شعرة عما جاء في شريعتنا من أحكام. قال تعالى: { وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ } وقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : «من أحدث في أمرنا ما ليس منه فهو رد».
إن ما يجوز لنا أن نأخذه من خبرتنا أو من الأمم الأخرى من العلوم والصناعات هو مما أباحه لنا شرعنا. وهذا من جنس تنظيم أمور السير في الطريق. والحديث الشريف: «أنتم أدرى بشؤون دنياكم» هو نص في إباحة هذه الشؤون لنا فنصبح مخيرين فيها بين أن نأخذها من أنفسنا أو من غيرنا. لكن علينا أن نفهم حدود هذا النص (... شؤون دنياكم)، وهذه الحدود تُفهم من نصوص أخرى، وهذا بحث قائم بذاته، ولكن يَجْمُل بنا أن نشير هنا إلى أن الأمور العملية (من طب وفيزياء وكيمياء وفضاء ونبات وحيوان... ) وما ينتج عنها من صناعات، كلها من المباحات الداخلة في هذا الحديث. والأمور الإدارية التي تنظّم أعمالاً مباحة هي أيضاً من المباحات الداخلة فيه. وبذلك تكون هذه التنظيمات الإدارية وهذه الأبحاث العلمية والأعمال الصناعية سائرة بموجب ما أنزل الله ويصحّ أن نقول مجازاً: (هي حكم أو عمل بما أنزل الله)، ولا يصح أن نقول: (هي حكم أو عمل بغير ما أنزل الله)، لا يصح ذلك على سبيل الحقيقة ولا على سبيل المجاز. إن الله تعالى خاطب نبيه بقوله: { إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ } وبقوله: { وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنْ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ } ؟ وهذه الآيات حصرت الحكم بما أنزل الله. فإذا علمنا أن ما أنزله الله كافٍ وافٍ فهمنا أنه لم يبق مجال للحكم بغير ما أنزل الله. وقد ورد نظير ذلك في حديث رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: «كل شرط ليس في كتاب الله فهو باطل ولو كان مائة شرط»، وهو يقصد: (كل شرط يخالف من أنزل الله) فعبارة (ليس في كتاب الله) تعني (يتعارض مع ما في كتاب الله).
لذلك لا يصح القول: «لا بأس بمن يحكم بغير ما أنزل الله» لأنها بالنتيجة ترادف «عدم الحكم بما أنزل الله». وأملنا أن يصحّح الكاتب هذا القول(
Titok Priastomo
0 komentar:
Posting Komentar