Minggu, 19 Desember 2010

Syariah dan Hukum Syara'

Syariah

Makna bahasa dari kata “Syariah” adalah sumber air yang tidak ada habis di mana orang-orang memenuhi dahaganya. Sesuai dengan arti secara bahasa makna Syariah adalah hukum Islam yang menjadi sumber petunjuk. Sebagaimana air yang merupakan dasar kehidupan, hukum Islam juga merupakan sumber penting untuk mengarahkan kehidupan manusia.
Syariah terdiri dari semua hukum yang diperoleh dari sumber hukum Islam. Hukum ini tidak terbatas pada masalah pernikahan atau perceraian saja, tetapi mencakup setiap perbuatan individu atau masyarakat. Kata Syariah juga merupakan sinonim dari fiqih.

Hukum Syara’
Al Qur'an dan Sunnah membicarakan berbagai topik seperti, kisah bangsa-bangsa terdahulu, hari pembalasan, dan yang lainnya. Tidak hanya itu, ada banyak nash yang membicarakan secara khusus mengenai perbuatan kita apakah harus dikerjakan atau terlarang, bagian ini dijadikan rujukan hukum Syara’.

Istilah hukum Syara’ dalam bahasa Arab maksudnya adalah seruan Pembuat Hukum (asy Syari’) berkenaan dengan perbuatan kita. Islam membahas semua perbuatan kita apakah boleh atau tidak. Setiap perbuatan kita harus mengikuti hukum Syara’. Allah berfirman:

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al-Maidah: 45)

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzab: 36)

Jenis-jenis Hukum Syara’
Banyak orang Islam yang terlalu cepat menyimpulkan bahwa sesuatu Haram atau Fardu setelah membaca ayat atau hadits. Padahal tidak setiap perintah dari sumber hukum adalah Fardu atau Haram. Aturan untuk memahaminya, yang digunakan untuk membedakan jenis-jenis hukum Syara’, sekali lagi berkaitan dengan Ushul Fiqih.

Hukum Syara’ secara umum adalah lima.

A. Fardu (wajib) 
Jika seruan untuk melakukan sesuatu adalah pasti (talab jazim) maka hukumnya Fardu atau Wajib, keduanya memiliki makna yang sama. Seseorang yang mengerjakan yang Fardu akan diberi pahala sedangkan yang tidak taat akan mendapat siksa.

Contoh: melaksanakan dan mendirikan shalat, membayar zakat, berpartisipasi dalam jihad, mematuhi hukum Islam, seorang muslimah mengunakan hijab, dll.

B. Haram (terlarang)
Jika seruannya berkaitan dengan perintah yang pasti untuk meninggalkan sebuah perbuatan maka perbuatan tersebut hukumnya Haram atau Mahdzur. Jika perbuatan haram dikerjakan, maka akan mendapat siksa sedang yang meninggalkannya akan mendapat pahala.

Contoh: melakukan riba, berjudi, menyerukan nasionalisme atau demokrasi.

C. Mandub, Mustahab, Sunnah atau Nafilah (dianjurkan) 
Jika seruan untuk melakukan perbuatan bersifat tidak pasti maka hukumnya Mandub. Seseorang yang mengerjkakannya mendapat keutamaan dan pahala. Sedangkan yang tidak mengerjakannya tidak dicela ataupun dihukum.

Contoh: menjenguk orang yang sakit, bersedekah kepada orang yang miskin, shaum senin kamis.

D. Makruh (tidak disukai) 
Jika seruan untuk meninggalkan perbuatan besifat tidak pasti maka hukumnya makruh. Orang yang meninggalkannya mendapat keutamaan dan pahala sedangkan mengerjakannya tidak dicela ataupun dihukum.

Contoh: shalat diantara waktu subuh dan terbit matahari, makan bawang sebelum pergi ke masjid, membuang sampah di jalan.

E. Mubah (boleh) 
Jika pilihan mengerjakan atau meninggalkan perbuatan diserahkan kepada masing-masing, maka perbuatan tersebut hukumnya Mubah. Yang mengerjakannya tidak akan diberi pahala atau pun mendapat siksa.

Seperti memakan domba atau ayam, menikah sampai empat istri, mengemudi mobil, dll      

Sebagian hukum Syara’ seperti Fardu dibagi lagi menjadi beberapa subkategori. Sebagai contoh: Fardu dibagi menjadi Fardu 'Ain dan Fardu Kifayah. Fardu 'Ain adalah kewajiban setiap muslim, seperti shalat lima waktu setiap harinya, shaum di bulan ramadan, memenuhi kewajiban kepada suami atau istrinya. Sedangkan Fardu Kifayah merupakan kewajiban kepada seluruh umat hingga sebagian dari umat menyelesaikan Fardu tersebut, seperti mengurus pemakaman seorang muslim yang meninggal. Jika sebagian dari umat mengerjakan tugas tersebut, maka terangkatlah kewajiban atas sebagian yang lain. Sebagian hukum Syara’ yang lain juga kadang dibagi lagi lebih lanjut.[IHM]
*
Postingan Terkait Lainnya :


0 komentar:

Posting Komentar

 

Hizbut Tahrir Indonesia

SALAFY INDONESIA

Followers