Oleh: Ir. Alimudin Laju.MT.MM
(Anggota Lajnah Siyasiyah DPP HTI)
Pada tgl 31 maret 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan semua pasal dalam UU Badan Hukum Pendidkan (UU BHP). MK juga membatalkan beberapa isi UU Sisdiknas. Pertimbangan MK membatalkan UU BHP salah satunya UU itu ingin menyeragamkan penyelenggara pendidikan dalam bentuk BHP. MK menilai ide penyeragaman melalui UU BHP tidak menemukan alasan yang mendasar. Alasan lain adalah UU itu mewajibkan BHP dikelola dengan dana mandiri dan prinsip nirlaba. Permasalahan akan muncul di daerah di mana akan sangat kesulitan sekolah dalam bentuk BHP mendapatkan sumber dana untuk mandiri. Menurut MK, jika keadaan tidak ada kepastian sumber dana yang dapat didapat oleh sebuah BHP, sasaran paling rentan adalah peserta didik melalui pungutan.
Menurut Prof. Dr. Bambang Sudibyo Mendiknas 2004-2009 menanggapi pembatalan UU BHP oleh MK mengatakan bahwa pembatalan UU Badan Hukum Pendidkan (UU BHP) tidak berpengaruh pada Badan Hukum Milik Negara (BHMN). BHMN terdiri tujuh Perguruan Tinggi adalah Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Sumatra Utara tetap eksis karena yang tidak diperbolehkan Mahkmah Konstitusi adalah menyeragamkan pendidikan melalui BHP karena melanggar UU. Dia mengungkapkan, DPR dan pemerintah dapat menindaklanjuti dengan membuat UU yang sesuai putusan MK.
Tetapi berbeda penryataan, Akil Mochtar hakim konstitusi menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No 9/2009 tentang BHP telah jelas membatalkan penerapan BHMN di tujuh perguruan tinggi. Bila BHMN tetap eksis karena yang menjadi dasar untuk tetap adanya BHMN adalah penjelasan Pasal 53 ayat 1 UU Sistem pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Pasal 53 ayat 1 tersebut telah dibatalkan oleh MK lalu dasar pelaksanaan BHMN di mana? Menurut dia, dengan tidak ada lagi dasar pelaksanaannya, BHMN harus dibatalkan.Karena itu, solusinya adalah harus ada UU baru. Akil mengungkapkan, putusan tentang UU BHP menegaskan bahwa UU itu telah meminggirkan peran lembaga pendidikan yang telah ada sebelum Indonesia merdeka, yaitu yayasan. Dengan UU BHP lembaga seperti yayasan tidak diakui karena itu dibatalkan. UU BHP telah menyeragamkan lembaga pendidikan. Imbasnya,satu lembaga pendidikan dapat tersisih oleh lembaga pendidikan lainnya. Akil mencontohkan, ketika biaya antara satu universitas dan lainnya disamakan, yang dinilai bagus akan dipilih. Imbasnya,universitas yang dinilai tidak bagus akan kekurangan peminat. Selain itu, Akil mengatakan, meski MK membatalkan UU BHP dan BHMN tidak ada, universitas negeri juga tidak dilarang untuk mencari dana pembangunan internal kampusnya. Asal dananya yang didapatkan dapat dipertanggung jawabkan.
Menurut Prof. Fasli Jalal Wakil Menteri Pendidikan Nasional, mengatakan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang memiliki badan hukum, tetap masih mendapatkan ruang untuk mengelola sumberdayanya. Sangat mungkin PTN nanti melaksanakan sistem Badan Hukum Milik Negara (BHMN), namun harus ramah kepada masyarakat, serta ada kontrol dari pemerintah terkait pungutan terhadap mahasiswa.Jadi hak sepenuhnya ada di PTN masing-masing, karena pengelolaan perguruan tinggi negeri (PTN) tetap harus memiliki otonomi untuk berkembang tanpa melanggar ketentuan hukum setelah dibatalkannya UU BHP. Pemerintah hingga kini masih belum memutuskan bentuk dari payung hukum yang akan dipilih guna mengisi aturan yang kosong pasca pembatalan undang-undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Makamah Konstitusi (MK). Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada Mendiknas Prof. Dr. Muh. Nuh untuk melakukan pengkajian lagi apakah persoalan-persoalan yang sekarang sebagai implikasi dari dibatalkannya UU BHP sudah semuanya bisa ditampung dalam PP yang baru atau PP No 17 tahun 2010
Prof. Dr. Mohammad Nuh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) merancang Peraturan Pemerintah (RPP) yang baru pasca-pembatalan UU BHP. UU Sisdiknas Tahun 1998 telah melahirkan PP 60/1999 dan PP 61/1999. PP 60/1999 itulah yang menjadi "cantolan" (sumber hukum) PTN dalam mengatur dirinya, sedangkan PP 61/1999 yang melahirkan PT BHMN.
UU Sisdiknas akhirnya diubah menjadi UU 20/2003, kemudian UU Sisdiknas 20/2003 itu melahirkan PP 17/2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan. PP 17/2010 itu sendiri menganulir PP 60/1999 dan PP 61/1999, tapi PP 17/2010 tidak menjadi `cantolan` (sumber hukum) dari UU BHP, sehingga PP 17/2010 adalah PP terkait UU BHP yang hidup Kemendiknas tidak akan menggunakan PP 17/2010 sebagai `cantolan` yang masih hidup, melainkan pihaknya akan menempuh langkah yang paling aman dengan merancang PP baru yang tetap mengarah kepada komitmen kepada kualitas pendidikan. Bahkan, kami akan mengambil hikmah dari pembatalan MK itu dengan melakukan penataan ulang untuk sistem pendidikan nasional. Kalau selama ini sistem yang ada lebih menonjol pada otonomi, maka PP yang baru akan melengkapi dengan pilar lain. PP yang baru nantinya memiliki empat pilar yakni otonomi, akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. misalnya, aturan tentang kursi di sebuah perguruan tinggi untuk calon mahasiswa yang miskin sebanyak minimal 20 persen sebagaimana diatur dalam UU BHP akan tetap dipertahankan dalam PP yang baru.Tapi, persyaratan minimal 20 persen itu akan dilengkapi dengan sistem pelaporan secara online yang akuntabel, sehingga persyaratan 20 persen itu akan memiliki jaminan dalam pelaksanaannya. Pendidikan tinggi saat ini terjadi missing link menjadi mahal dan sulit terjangkau masyarakat, apakah faktor efisiensi, mis-manajemen, akuntabilitas, atau apa penyebabnya. Kami akan merumuskan komponen biaya pendidikan tinggi, apakah yang menjadi komponen pemerintah dan apa yang menjadi komponen masyarakat, sehingga akan diketahui rumusan yang membuat pendidikan tinggi menjadi terjangkau, sebab calon mahasiswa masyarakat berkemampuan sedang relatif banyak. Ditanya tentang tujuh perguruan tinggi yang sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), ia mengatakan PT BHMN tetap harus mengacu pada PP yang baru, namun hal itu tidak akan dipaksakan. PT BHMN akan tetap berjalan, tapi ada masa transisi untuk memenuhi PP yang baru. Misalnya, UI sekarang `kan memiliki karyawan yang PNS dan karyawan yang merupakan pegawai BHMN, tentu perlu waktu untuk berubah ke arah PP yang baru.
Menurut Prof. Dr. Mansyur Ramli Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendiknas menjelaskan, dua alternatif payung hukum tersebut yakni peraturan pengganti undang-undang (perppu) dan revisi PP 17/2010 tentang penyelenggaraan pendidikan. “Naskah perpu sudah siap dan begitu pula revisi PP. Pada rapat kerja dengan Komisi X DPR, Prof Dr Mansyur menjelaskan, yang akan diatur dalam perpu adalah landasan hukum bagi ketujuh perguruan tinggi negeri berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yakni UI, ITB, IPB, Unair, UGM, UPI, dan USU. Perppu tersebut nantinya juga akan mengatur pengelolaan keuangan dan otonomi perguruan tinggi. Akan tetapi masalah yayasan masih belum masuk di peraturan pengganti ini. Sementara Johannes Gunawan Konsultan UU BHP Kemendiknas saat raker menjelaskan, dua alternatif itu diajukan untuk mengantisipasi beberapa jenjang pendidikan yang selama ini mengacu pada UU BHP. Diantaranya jenjang pendidikan menengah atau madrasah yang berbentuk atau diselenggarakan yayasan dan pendidikan tinggi berbadan hukum milik negara (BHMN).Selain itu, ada pendidikan tinggi yang berbentuk yayasan dan pendidikan tinggi yang berbentuk badan hukum pendidikan (BHP) seperti universitas pertahanan. Lebih jauh dia menambahkan, ketidakjelasan bentuk badan hukum bagi yayasan disebabkan yayasan tidak boleh secara langsung menyelenggarakan pendidikan, melainkan dilakukan dengan membentuk badan usaha. Berdasar pasal 7 ayat (1) UU No 16 Tahun 2001,yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud yayasan. ”Hal tersebut bertentangan dengan prinsip nirlaba bagi badan hukum penyelenggara pendidikan Pasal 53 ayat (3) UU Sisdiknas,” terangnya. Selain itu,menurut Pasal 39 PP No 63 Tahun 2008 tentang Yayasan, yayasan yang sampai tanggal 6 Oktober 2008 belum menyesuaikan dengan UU, tidak diperbolehkan lagi menggunakan kata yayasan serta harus bubar dan melikuidasi kekayaannya. Hingga saat ini masih terdapat ribuan yayasan yang belum sesuai dengan UU tersebut sehingga nasib siswa dan mahasiswa pun tidak jelas. Begitu pula ijazah yang diterbitkan sekolah atau perguruan tinggi yang tidak berbadan hukum menjadi ilegal. Menurut Ferdiansyah Anggota Komisi X DPR menyetujui alternatif perpu dapat mengatur tentang tata kelola dan status badan hukum. Karena itu, pihaknya menunggu pengajuan dari Kemendiknas terkait alternatif tersebut. Sementara Abdul Wahid Hamid anggota Komisi X DPR menjelaskan, perppu memang lebih baik karena kondisi darurat yang dialami pengelola pendidikan usai UU BHP ditolak MK. Kemendiknas mesti mempersiapkan PP sebagai substansi di bawah perppu. Sedangkan Dedi Suwandi Gumelar anggota Komisi X DPR lebih memilih revisi PP 17 sebagai peraturan baru. Pasalnya, pasal-pasal dalam PP tersebut sudah mengadopsi elemen-elemen, baik dalam UU BHP dan sudah merujuk ke konstitusi yang telah ada. Yang paling cepat diimplementasikan adalah PP 17. Kalau ajukan UU, butuh waktu yang sangat lama. Sebelumnya kalangan rektor juga masih berbeda pendapat terkait payung hukum pengganti UU BHP. Prof. Dr.Akhmaloka Rektor ITB berharap kalangan perguruan tinggi tetap diberikan otonomi untuk mengelola kampus. Karena itu, apapun payung hukumnya harus bisa menjembatani aspirasi masyarakat kampus. Mendiknas telah meminta kalangan kampus untuk tetap menjalankan aktivitas pendidikan. Meski landasan hukum keberadaan PTN BHMN telah ditolak, status tersebut masih tetap berlaku. Sebab, keberadaannya mengacu pada UU Sisdiknas.
1. Kampus yang Komersil Tidak Dapat Dihindari
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa BHMN bukanlah komersialisasi apalagi privatisasi kampus. Mereka salah besar, pada kenyataannya justru komersialisasi ini tidak dapat dihindari. Kemudian, karena pencarian dan pengelolaan keuangan institusi pendidikan dilakukan secara otonomi, di mana pemerintah tidak campur tangan lagi, privatisasi kampus malah semakin jelas.
Aset-aset perguruan tinggi dijadikan bisnis untuk mencari uang. Misalnya saja IPB mendirikan Bogor Botany Square, Ekalokasari Plaza, dan pom bensin di wilayah kampusnya. Sebenarnya ini sudah melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi karena menjadikan bagian kampus sebagai pusat bisnis. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perguruan tinggi konversi aset tersebut dikatakan boleh-boleh saja. Permasalahannya jika institusi pendidikan tidak mempunyai aset, atau sedang buntu tidak memiliki cara lain untuk memperoleh dana. Alhasil biaya pendidikanlah yang naik.
Peningkatan biaya pendidikan dijumpai pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN ini. Sebagai contoh seperti yang terjadi di UI, pada tahun 1999, Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar 1.5 juta rupiah, meningkat tiga kali lipat dari biaya sebelumnya yang limaratus ribu rupiah. Lalu, tahun 2003, Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM), mengharuskan mahasiswa membayar uang masuk sebesar 50-60 bahkan 100 juta rupiah, belum uang pangkalnya (admission fee) yang kisarannya 5-25 juta rupiah. Ini pada perguruan tinggi yang BHMN. Kenyataannya akan berbeda jika semua institusi pendidikan (UU-BHP juga mencakup pendidikan dasar dan menengah) telah berubah menjadi BHP.
2. Timbul Kesenjangan dalam Bidang Pendidikan
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak rakyat Indonesia yang ingin mengenyam pendidikan tinggi (bahkan pendidikan dasar), namun dibatasi oleh kemampuan finansialnya. Jika pada institusi pendidikan, komersialisasi tidak dapat dihindari, apa yang terjadi pada mereka? Apakah hak mereka untuk mendapat pendidikan terabaikan?
Yang terjadi adalah pengkotak-kotakan mahasiswa. Mahasiswa yang berduit mendapat kesempatan yang lebih. Bisa dipastikan akan timbul kesenjangan baru. Suatu fenomena pada kampus-kampus PT BHMN, tempat parkir dipenuhi oleh mobil-mobil para mahasiswa. Memang bukan indikasi utama, tetapi cukup menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat bahwa yang kuliah hanyalah yang kaya alias mampu saja. Sampai timbul sinisme, orang miskin dilarang kuliah. Pada PTBHMN memang masih terdapat subsidi atau beasiswa bagi yang kurang mampu, tapi akankah seterusnya terjamin jika keuangan institusi pendidikan tersebut sedang mengalami krisis? Atau dengan menaikkan biaya pendidikan lagi?
3. Pendidikan Tinggi Indonesia Tidak Lagi Independen
Seperti sudah menjadi kebiasaan, jika pemerintah punya proyek baru dananya pasti dari berutang. Akibatnya isi proyeknya tergantung kompromi kedua belah pihak dan tentu saja harus menyenangkan pemberi utang.
Proyek IMHERE dan program-program sebelumnya, dananya berasal dari pinjaman (utang) dari pihak asing (World Bank, Asian Development Bank, dan sebagainya). Mereka begitu baik bersedia memberikan ”bantuan” untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Apakah pemerintah pernah berpikir, apa maksud mereka dibalik bantuan itu?.
Yang perlu dicermati adalah pertama, kebijakan pendidikan Indonesia menjadi tidak independen. Kedua, adanya bunga menambah beban pembayaran semakin tinggi. Bukankah Indonesia masih memiliki utang?. Pada akhirnya ketergantungan tersebut mengakibatkan pemerintah tidak dapat melepaskan diri dari intervensi asing.
4. Pemerintah Melepaskan Diri dari Tanggung Jawabnya
UU-BHP menegaskan pergeseran peran pemerintah dalam bidang pendidikan dari penanggungjawab menjadi pemrasaran (hanya memberi kesempatan dan fasilitas). Seperti yang diatur dalam RUU-BHP swasta (atau disebut masyarakat) diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan menyelenggarakan pendidikan.
Bukankah ini sama dengan yang terjadi di negara-negara liberalis di mana pendidikan bukan tanggung jawab sepenuhnya pemerintah. Itu jelas sekali, bahkan dalam penerapan PTBHMN sudah tampak.
Sektor pendidikan saat ini mendapatkan anggaran kurang dari 20 % dari APBN, lebih diutamakan untuk pendidikan dasar dan menengah. Dikatakan bahwa PTBHMN hanya dipayungi PP sehingga Departemen Keuangan tidak mengakuinya sebagai salah satu pos anggaran negara. Dapat dibayangkan, bagaimana nasib pendidikan tinggi Indonesia jika pemerintah berlepas tangan semacam ini.
5. Pasar Bebas Pendidikan
Ciri khas pasar bebas adalah adanya persaingan di mana yang berkemampuan (modal) lebih akan menang. Yang tidak berkemampuan akan kalah bahkan tersingkir.
Kenyataan demikian sudah tampak seperti yang telah dijelaskan pada poin ketiga, bahwa mahasiswa berduit menyingkirkan kesempatan mahasiswa yang tidak berduit.
UU-BHP dalam pendidikan menjadi sebuah komoditas. Standar suatu mata kuliah akan diajarkan atau tidak kepada peserta didiknya, berdasarkan relevansi dan tingkat permintaan atau keinginan pasar (para kapitalis—red). Tidak heran jika nantinya akan terjadi buka-tutup pada mata kuliah atau bahkan fakultas. Dan dapat dipastikan bahwa yang akan mengarahkan sistem pendidikan di Indonesia pun adalah pasar. Bila pasar di Indonsia saat ini dikuasai oleh asing, maka pendidikan Indonesia akan dikuasai oleh asing. Jadi pemerintah janganlah berharap banyak dari lulusan perguruan tinggi di negerinya mampu menyelesaikan persoalan bangsanya, karena mereka diarahkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa lain (penjajah—red).
Pada UU-BHP pasal 6 tertulis, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia, dan bekerjasama dengan BHP yang keseluruhan anggota MWAnya berwarganegara Indonesia. Pasal ini mengindikasikan akan terjadi persaingan institusi-institusi pendidikan Indonesia dengan intitusi-institusi asing. Sangat jelas bahwa Indonesia akan kalah, dikarenakan secara finansial kemampuan Indonesia masih di bawah asing.
6. Tri Dharma Perguruan Tinggi Terlupakan
Pada institusi pendidikan yang sudah berorientasi sebagai bisnis, jalannya pendidikan tidak menjadi prioritas utama. Ini merupakan pelanggaran Tri Dharma Perguruan Tinggi yang pertama, yaitu pendidikan.
Pengelolaan institusi yang tidak independen, tergantung pada pihak-pihak yang berkepentingan menyebabkan pengembangan perguruan tinggi sebagai salah satu pusat riset dan penelitian juga bergantung pada keinginan pihak-pihak berkepentingan tersebut. Di sisi lain, pendidikan tinggi hanya untuk menghasilkan lulusan yang diserap oleh perusahaan-perusahaan asing, atau menyelesaikan permasalahan-permasalahan asing, bukan permasalahan rakyat Indonesia. Lulusan pendidikan tinggi setiap tahunnya bertambah, akan tetapi permaslahan rakyat pun bertambah juga, artinya Institusi Pendidikan belumlah berfungsi sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat.
Inti dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan pendidikan tinggi yang diterapkan pemerintah saat ini tidak jauh-jauh dari sumber daya manusia yang dihasilkan.
Inginnya mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kenyataannya malah semakin terpuruk. Manusia-manusia yang terbentuk adalah manusia yang kapitalis dan pragmatis. Kapitalis karena merasa bahwa segala sesuatu bisa dikuasai dengan uang. Pragmatis karena hidupnya bergantung pada keadaan, tidak mampu mandiri. Di samping itu perlu dipertanyakan aspek moralnya. Suasana pendidikan yang penuh persaingan cenderung membentuk manusia yang bermental rendah.
Sesuai bunyi Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", dan Pasal 31 Ayat 2 yang berbunyi "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Artinya pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang. Ini berarti, pemerintah memiliki kewajiban penuh memikul seluruh beban biaya pendidikan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun kenyataannya adalah sampai saat ini warga negara (rakyat) masih saja dibebani dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi. Dalam UU Sisdiknas pasal 9 meminta masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Walaupun dengan dalih sebagai sumbangan sukarela, namun kenyataannya adalah masyarakat memang diwajibkan untuk membayar biaya pendidikan yang seharusnya gratis. Demikian juga dengan RUU BHP yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan. Jika RUU BHP disahkan, setiap SD-SLTA negeri/swasta dan perguruan tinggi negeri akan menjadi BHP. Konsep BHP sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah "peran serta masyarakat" itu cenderung disalahartikan dengan cara menggali dana dari masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha. UU BHP adalah upaya pengalihan tanggung jawab negara terhadap pendidikan dengan meminta masyarakat memikul pembiayaan pendidikan. Jika UU ini diterapkan akan makin sedikit masyarakat tidak mampu yang bisa mengakses pendidikan tinggi. Konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar.
Belajar dari "percobaan" BHMN justru terkesan sebagai jor-joran dan perlombaan menggali dana sebanyak mungkin dari masyarakat. Biaya yang selangit dan aroma penggalangan dana besar-besaran dari orang tua peserta didik, mewarnai PT BHMN selama ini. Idealnya memang dana digali dari sumber lain melalui kerja sama dengan berbagai pihak. Bukan dari orang tua peserta didik. Namun, hal itu membutuhkan kreativitas, kerja keras, dan tentu butuh waktu lebih lama, sementara kebutuhan makin mendesak. Tak heran, fenomena penerimaan mahasiswa baru non-SPMB pun merebak. Berbagai PT BHMN punya nama-nama sendiri terhadap "pintu alternatif" ini. Harganya tidak tanggung-tanggung, bisa mencapai puluhan juta rupiah. Merekrut mahasiswa sebanyak-banyaknya dan menaikkan uang kuliah setinggi-tingginya, dan melakukan seleksi mahasiswa seringan-ringannya, memang bisa jadi rumus cespleng untuk mendapatkan dana. Perguruan tinggi di Indonesia belum berpengalaman dalam menswastakan diri. mem-BHP-kan lembaga pendidikan sebagai upaya komersialisasi dan tak lebih dari representasi neoliberalisme. Ini jelas agenda neoliberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan. Seharusnya pemerintah tidak boleh lepas tangan sama sekali. Alih-alih memenuhi batas alokasi minimal pada pembiayaan pendidikan sebesar 20 persen, dalam RUU BHP tidak terdapat kewajiban pemerintah untuk memberi dana rutin. Ujung-ujungnya nanti hanya orang kaya yang bisa masuk. Lama-lama tidak akan terjangkau oleh orang yang tidak mampu. Mahalnya biaya pendidikan mungkin tidak terlalu terasa lagi, karena lama-lama akan terbentuk komunitas homogen, alias orang yang mampu saja. Pada intinya, bentuk apa pun suatu perguruan tinggi, selama dimaksudkan untuk memperluas akses masyarakat mendapatkan pendidikan, semakin bagus.
Pemerintah perlu menimbang kesiapan masyarakat untuk menghadapi mahalnya biaya pendidikan akibat privatisasi. Privatisasi terutama sekali berpotensi membatasi orang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas. Privatisasi pendidikan seperti yang digariskan dalam UU BHP menyebabkan pembiayaan pendidikan kembali ke masyarakat. Kondisi saat ini masyarakat dinilai belum siap untuk menanggung biaya pendidikan sendiri, tanpa campur tangan pemerintah. Dalam UU Sisdiknas (UU No 20 Tahun 2003), disebutkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Tapi, perlu dilihat juga, kondisi dan kesiapan masyarakat sendiri. Privatisasi jelas akan melambungkan biaya pendidikan.
Kontrol sosial budaya berperan penting, karena fakta di manapun akan tetap terdapat sejumlah orang yang tidak punya kesadaran, kecuali budaya “memaksa” mereka. Pada masyarakat yang gemar belajar (learning society), menghabiskan waktu tanpa memperoleh ilmu adalah tercela, seperti juga memperoleh ijazah tanpa ilmu, atau mendapat amanah atau jabatan sebelum menguasai ilmunya.
Rasulullah bersabda: “Orang yang mempelajari suatu ilmu yang bermanfaat sampai dia mengerti, pahalanya sama dengan sholat sunat semalam suntuk” (Al-Hadits).
“Tinta ilmuwan itu lebih berat dari darah syuhada” (Al-Hadits).
Di sini Rasul menyatakan ilmu secara umum, tidak dibatasi studi islam seperti tafsir atau fiqih, tapi juga fisika, kedokteran, dsb.
Opini semacam ini harus ditumbuhkan terus melalui dakwah, media massa, film dan contoh para pemuka masyarakat. Opini ini yang akan menjadikan kontrol sosial berjalan, sehingga fasilitas pendidikan yang ada juga tetap terjaga, baik gedung-gedungnya, kualitas gurunya, maupun materi ajarnya. Kalau kontrol sosial melemah, maka gedung sekolah yang mau roboh akan dibiarkan, atau guru yang asal-asalan, skripsi bajakan, juga materi ajar yang tidak membumi atau ketinggalan jaman.
Sedang peran negara adalah yang paling signifikan. Negara bisa intervensi ketika ada orang tua yang sengaja menghalangi anaknya menuntut ilmu tanpa alasan yang dibenarkan syara’. Rasulullah meminta supaya tidak melarang kaum wanita pergi ke masjid (untuk belajar atau aktivitas melayani urusan umat).
Negara juga berperan untuk menghidupkan kontrol sosial, seperti menjamin kemerdekaan pers mengungkap kebenaran dalam pemberitaan pendidikan. Dan yang penting lagi, negara menetapkan sistem pendidikan yang menjamin berlangsungnya tujuan pendidikan. Hal ini dimulai dari penetapan standar mutu pendidikan, standar guru, sampai pembiayaan pendidikan.
Karena menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim, maka negara wajib menyediakannya secara murah, bahkan bila perlu gratis. Karena itu, syariat pendidikan ini tak bisa lepas dari syariat yang mengatur ekonomi, pemerintahan, atau politik luar negeri.
Ini artinya, negara tak boleh menyerahkan pendidikan kepada “mekanisme pasar”, karena di sini mekanisme itu akan distortif. Kalau akses dan mutu pendidikan terkait dengan harga, maka akan terjadi lingkaran setan, dan orang miskin tak pernah akan dapat dientaskan, lantaran mereka tak akan mampu membiayai anaknya ke sekolah. Mungkin mereka bahkan tidak sempat menunjukkan prestasi apapun, sehingga juga luput dari jaringan beasiswa.
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda:
Wallahu a’lam bi shawab
*
(Anggota Lajnah Siyasiyah DPP HTI)
Pada tgl 31 maret 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan semua pasal dalam UU Badan Hukum Pendidkan (UU BHP). MK juga membatalkan beberapa isi UU Sisdiknas. Pertimbangan MK membatalkan UU BHP salah satunya UU itu ingin menyeragamkan penyelenggara pendidikan dalam bentuk BHP. MK menilai ide penyeragaman melalui UU BHP tidak menemukan alasan yang mendasar. Alasan lain adalah UU itu mewajibkan BHP dikelola dengan dana mandiri dan prinsip nirlaba. Permasalahan akan muncul di daerah di mana akan sangat kesulitan sekolah dalam bentuk BHP mendapatkan sumber dana untuk mandiri. Menurut MK, jika keadaan tidak ada kepastian sumber dana yang dapat didapat oleh sebuah BHP, sasaran paling rentan adalah peserta didik melalui pungutan.
Menurut Prof. Dr. Bambang Sudibyo Mendiknas 2004-2009 menanggapi pembatalan UU BHP oleh MK mengatakan bahwa pembatalan UU Badan Hukum Pendidkan (UU BHP) tidak berpengaruh pada Badan Hukum Milik Negara (BHMN). BHMN terdiri tujuh Perguruan Tinggi adalah Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Sumatra Utara tetap eksis karena yang tidak diperbolehkan Mahkmah Konstitusi adalah menyeragamkan pendidikan melalui BHP karena melanggar UU. Dia mengungkapkan, DPR dan pemerintah dapat menindaklanjuti dengan membuat UU yang sesuai putusan MK.
Tetapi berbeda penryataan, Akil Mochtar hakim konstitusi menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No 9/2009 tentang BHP telah jelas membatalkan penerapan BHMN di tujuh perguruan tinggi. Bila BHMN tetap eksis karena yang menjadi dasar untuk tetap adanya BHMN adalah penjelasan Pasal 53 ayat 1 UU Sistem pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Pasal 53 ayat 1 tersebut telah dibatalkan oleh MK lalu dasar pelaksanaan BHMN di mana? Menurut dia, dengan tidak ada lagi dasar pelaksanaannya, BHMN harus dibatalkan.Karena itu, solusinya adalah harus ada UU baru. Akil mengungkapkan, putusan tentang UU BHP menegaskan bahwa UU itu telah meminggirkan peran lembaga pendidikan yang telah ada sebelum Indonesia merdeka, yaitu yayasan. Dengan UU BHP lembaga seperti yayasan tidak diakui karena itu dibatalkan. UU BHP telah menyeragamkan lembaga pendidikan. Imbasnya,satu lembaga pendidikan dapat tersisih oleh lembaga pendidikan lainnya. Akil mencontohkan, ketika biaya antara satu universitas dan lainnya disamakan, yang dinilai bagus akan dipilih. Imbasnya,universitas yang dinilai tidak bagus akan kekurangan peminat. Selain itu, Akil mengatakan, meski MK membatalkan UU BHP dan BHMN tidak ada, universitas negeri juga tidak dilarang untuk mencari dana pembangunan internal kampusnya. Asal dananya yang didapatkan dapat dipertanggung jawabkan.
Menurut Prof. Fasli Jalal Wakil Menteri Pendidikan Nasional, mengatakan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang memiliki badan hukum, tetap masih mendapatkan ruang untuk mengelola sumberdayanya. Sangat mungkin PTN nanti melaksanakan sistem Badan Hukum Milik Negara (BHMN), namun harus ramah kepada masyarakat, serta ada kontrol dari pemerintah terkait pungutan terhadap mahasiswa.Jadi hak sepenuhnya ada di PTN masing-masing, karena pengelolaan perguruan tinggi negeri (PTN) tetap harus memiliki otonomi untuk berkembang tanpa melanggar ketentuan hukum setelah dibatalkannya UU BHP. Pemerintah hingga kini masih belum memutuskan bentuk dari payung hukum yang akan dipilih guna mengisi aturan yang kosong pasca pembatalan undang-undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Makamah Konstitusi (MK). Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada Mendiknas Prof. Dr. Muh. Nuh untuk melakukan pengkajian lagi apakah persoalan-persoalan yang sekarang sebagai implikasi dari dibatalkannya UU BHP sudah semuanya bisa ditampung dalam PP yang baru atau PP No 17 tahun 2010
Baru PaRancang PP sca-Pembatalan UU BHP
Prof. Dr. Mohammad Nuh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) merancang Peraturan Pemerintah (RPP) yang baru pasca-pembatalan UU BHP. UU Sisdiknas Tahun 1998 telah melahirkan PP 60/1999 dan PP 61/1999. PP 60/1999 itulah yang menjadi "cantolan" (sumber hukum) PTN dalam mengatur dirinya, sedangkan PP 61/1999 yang melahirkan PT BHMN.
UU Sisdiknas akhirnya diubah menjadi UU 20/2003, kemudian UU Sisdiknas 20/2003 itu melahirkan PP 17/2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan. PP 17/2010 itu sendiri menganulir PP 60/1999 dan PP 61/1999, tapi PP 17/2010 tidak menjadi `cantolan` (sumber hukum) dari UU BHP, sehingga PP 17/2010 adalah PP terkait UU BHP yang hidup Kemendiknas tidak akan menggunakan PP 17/2010 sebagai `cantolan` yang masih hidup, melainkan pihaknya akan menempuh langkah yang paling aman dengan merancang PP baru yang tetap mengarah kepada komitmen kepada kualitas pendidikan. Bahkan, kami akan mengambil hikmah dari pembatalan MK itu dengan melakukan penataan ulang untuk sistem pendidikan nasional. Kalau selama ini sistem yang ada lebih menonjol pada otonomi, maka PP yang baru akan melengkapi dengan pilar lain. PP yang baru nantinya memiliki empat pilar yakni otonomi, akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. misalnya, aturan tentang kursi di sebuah perguruan tinggi untuk calon mahasiswa yang miskin sebanyak minimal 20 persen sebagaimana diatur dalam UU BHP akan tetap dipertahankan dalam PP yang baru.Tapi, persyaratan minimal 20 persen itu akan dilengkapi dengan sistem pelaporan secara online yang akuntabel, sehingga persyaratan 20 persen itu akan memiliki jaminan dalam pelaksanaannya. Pendidikan tinggi saat ini terjadi missing link menjadi mahal dan sulit terjangkau masyarakat, apakah faktor efisiensi, mis-manajemen, akuntabilitas, atau apa penyebabnya. Kami akan merumuskan komponen biaya pendidikan tinggi, apakah yang menjadi komponen pemerintah dan apa yang menjadi komponen masyarakat, sehingga akan diketahui rumusan yang membuat pendidikan tinggi menjadi terjangkau, sebab calon mahasiswa masyarakat berkemampuan sedang relatif banyak. Ditanya tentang tujuh perguruan tinggi yang sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), ia mengatakan PT BHMN tetap harus mengacu pada PP yang baru, namun hal itu tidak akan dipaksakan. PT BHMN akan tetap berjalan, tapi ada masa transisi untuk memenuhi PP yang baru. Misalnya, UI sekarang `kan memiliki karyawan yang PNS dan karyawan yang merupakan pegawai BHMN, tentu perlu waktu untuk berubah ke arah PP yang baru.
Menurut Prof. Dr. Mansyur Ramli Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendiknas menjelaskan, dua alternatif payung hukum tersebut yakni peraturan pengganti undang-undang (perppu) dan revisi PP 17/2010 tentang penyelenggaraan pendidikan. “Naskah perpu sudah siap dan begitu pula revisi PP. Pada rapat kerja dengan Komisi X DPR, Prof Dr Mansyur menjelaskan, yang akan diatur dalam perpu adalah landasan hukum bagi ketujuh perguruan tinggi negeri berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yakni UI, ITB, IPB, Unair, UGM, UPI, dan USU. Perppu tersebut nantinya juga akan mengatur pengelolaan keuangan dan otonomi perguruan tinggi. Akan tetapi masalah yayasan masih belum masuk di peraturan pengganti ini. Sementara Johannes Gunawan Konsultan UU BHP Kemendiknas saat raker menjelaskan, dua alternatif itu diajukan untuk mengantisipasi beberapa jenjang pendidikan yang selama ini mengacu pada UU BHP. Diantaranya jenjang pendidikan menengah atau madrasah yang berbentuk atau diselenggarakan yayasan dan pendidikan tinggi berbadan hukum milik negara (BHMN).Selain itu, ada pendidikan tinggi yang berbentuk yayasan dan pendidikan tinggi yang berbentuk badan hukum pendidikan (BHP) seperti universitas pertahanan. Lebih jauh dia menambahkan, ketidakjelasan bentuk badan hukum bagi yayasan disebabkan yayasan tidak boleh secara langsung menyelenggarakan pendidikan, melainkan dilakukan dengan membentuk badan usaha. Berdasar pasal 7 ayat (1) UU No 16 Tahun 2001,yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud yayasan. ”Hal tersebut bertentangan dengan prinsip nirlaba bagi badan hukum penyelenggara pendidikan Pasal 53 ayat (3) UU Sisdiknas,” terangnya. Selain itu,menurut Pasal 39 PP No 63 Tahun 2008 tentang Yayasan, yayasan yang sampai tanggal 6 Oktober 2008 belum menyesuaikan dengan UU, tidak diperbolehkan lagi menggunakan kata yayasan serta harus bubar dan melikuidasi kekayaannya. Hingga saat ini masih terdapat ribuan yayasan yang belum sesuai dengan UU tersebut sehingga nasib siswa dan mahasiswa pun tidak jelas. Begitu pula ijazah yang diterbitkan sekolah atau perguruan tinggi yang tidak berbadan hukum menjadi ilegal. Menurut Ferdiansyah Anggota Komisi X DPR menyetujui alternatif perpu dapat mengatur tentang tata kelola dan status badan hukum. Karena itu, pihaknya menunggu pengajuan dari Kemendiknas terkait alternatif tersebut. Sementara Abdul Wahid Hamid anggota Komisi X DPR menjelaskan, perppu memang lebih baik karena kondisi darurat yang dialami pengelola pendidikan usai UU BHP ditolak MK. Kemendiknas mesti mempersiapkan PP sebagai substansi di bawah perppu. Sedangkan Dedi Suwandi Gumelar anggota Komisi X DPR lebih memilih revisi PP 17 sebagai peraturan baru. Pasalnya, pasal-pasal dalam PP tersebut sudah mengadopsi elemen-elemen, baik dalam UU BHP dan sudah merujuk ke konstitusi yang telah ada. Yang paling cepat diimplementasikan adalah PP 17. Kalau ajukan UU, butuh waktu yang sangat lama. Sebelumnya kalangan rektor juga masih berbeda pendapat terkait payung hukum pengganti UU BHP. Prof. Dr.Akhmaloka Rektor ITB berharap kalangan perguruan tinggi tetap diberikan otonomi untuk mengelola kampus. Karena itu, apapun payung hukumnya harus bisa menjembatani aspirasi masyarakat kampus. Mendiknas telah meminta kalangan kampus untuk tetap menjalankan aktivitas pendidikan. Meski landasan hukum keberadaan PTN BHMN telah ditolak, status tersebut masih tetap berlaku. Sebab, keberadaannya mengacu pada UU Sisdiknas.
Akibat UU BHP diberlakukan di Indonesia
1. Kampus yang Komersil Tidak Dapat Dihindari
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa BHMN bukanlah komersialisasi apalagi privatisasi kampus. Mereka salah besar, pada kenyataannya justru komersialisasi ini tidak dapat dihindari. Kemudian, karena pencarian dan pengelolaan keuangan institusi pendidikan dilakukan secara otonomi, di mana pemerintah tidak campur tangan lagi, privatisasi kampus malah semakin jelas.
Aset-aset perguruan tinggi dijadikan bisnis untuk mencari uang. Misalnya saja IPB mendirikan Bogor Botany Square, Ekalokasari Plaza, dan pom bensin di wilayah kampusnya. Sebenarnya ini sudah melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi karena menjadikan bagian kampus sebagai pusat bisnis. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perguruan tinggi konversi aset tersebut dikatakan boleh-boleh saja. Permasalahannya jika institusi pendidikan tidak mempunyai aset, atau sedang buntu tidak memiliki cara lain untuk memperoleh dana. Alhasil biaya pendidikanlah yang naik.
Peningkatan biaya pendidikan dijumpai pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN ini. Sebagai contoh seperti yang terjadi di UI, pada tahun 1999, Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar 1.5 juta rupiah, meningkat tiga kali lipat dari biaya sebelumnya yang limaratus ribu rupiah. Lalu, tahun 2003, Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM), mengharuskan mahasiswa membayar uang masuk sebesar 50-60 bahkan 100 juta rupiah, belum uang pangkalnya (admission fee) yang kisarannya 5-25 juta rupiah. Ini pada perguruan tinggi yang BHMN. Kenyataannya akan berbeda jika semua institusi pendidikan (UU-BHP juga mencakup pendidikan dasar dan menengah) telah berubah menjadi BHP.
2. Timbul Kesenjangan dalam Bidang Pendidikan
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak rakyat Indonesia yang ingin mengenyam pendidikan tinggi (bahkan pendidikan dasar), namun dibatasi oleh kemampuan finansialnya. Jika pada institusi pendidikan, komersialisasi tidak dapat dihindari, apa yang terjadi pada mereka? Apakah hak mereka untuk mendapat pendidikan terabaikan?
Yang terjadi adalah pengkotak-kotakan mahasiswa. Mahasiswa yang berduit mendapat kesempatan yang lebih. Bisa dipastikan akan timbul kesenjangan baru. Suatu fenomena pada kampus-kampus PT BHMN, tempat parkir dipenuhi oleh mobil-mobil para mahasiswa. Memang bukan indikasi utama, tetapi cukup menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat bahwa yang kuliah hanyalah yang kaya alias mampu saja. Sampai timbul sinisme, orang miskin dilarang kuliah. Pada PTBHMN memang masih terdapat subsidi atau beasiswa bagi yang kurang mampu, tapi akankah seterusnya terjamin jika keuangan institusi pendidikan tersebut sedang mengalami krisis? Atau dengan menaikkan biaya pendidikan lagi?
3. Pendidikan Tinggi Indonesia Tidak Lagi Independen
Seperti sudah menjadi kebiasaan, jika pemerintah punya proyek baru dananya pasti dari berutang. Akibatnya isi proyeknya tergantung kompromi kedua belah pihak dan tentu saja harus menyenangkan pemberi utang.
Proyek IMHERE dan program-program sebelumnya, dananya berasal dari pinjaman (utang) dari pihak asing (World Bank, Asian Development Bank, dan sebagainya). Mereka begitu baik bersedia memberikan ”bantuan” untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Apakah pemerintah pernah berpikir, apa maksud mereka dibalik bantuan itu?.
Yang perlu dicermati adalah pertama, kebijakan pendidikan Indonesia menjadi tidak independen. Kedua, adanya bunga menambah beban pembayaran semakin tinggi. Bukankah Indonesia masih memiliki utang?. Pada akhirnya ketergantungan tersebut mengakibatkan pemerintah tidak dapat melepaskan diri dari intervensi asing.
4. Pemerintah Melepaskan Diri dari Tanggung Jawabnya
UU-BHP menegaskan pergeseran peran pemerintah dalam bidang pendidikan dari penanggungjawab menjadi pemrasaran (hanya memberi kesempatan dan fasilitas). Seperti yang diatur dalam RUU-BHP swasta (atau disebut masyarakat) diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan menyelenggarakan pendidikan.
Bukankah ini sama dengan yang terjadi di negara-negara liberalis di mana pendidikan bukan tanggung jawab sepenuhnya pemerintah. Itu jelas sekali, bahkan dalam penerapan PTBHMN sudah tampak.
Sektor pendidikan saat ini mendapatkan anggaran kurang dari 20 % dari APBN, lebih diutamakan untuk pendidikan dasar dan menengah. Dikatakan bahwa PTBHMN hanya dipayungi PP sehingga Departemen Keuangan tidak mengakuinya sebagai salah satu pos anggaran negara. Dapat dibayangkan, bagaimana nasib pendidikan tinggi Indonesia jika pemerintah berlepas tangan semacam ini.
5. Pasar Bebas Pendidikan
Ciri khas pasar bebas adalah adanya persaingan di mana yang berkemampuan (modal) lebih akan menang. Yang tidak berkemampuan akan kalah bahkan tersingkir.
Kenyataan demikian sudah tampak seperti yang telah dijelaskan pada poin ketiga, bahwa mahasiswa berduit menyingkirkan kesempatan mahasiswa yang tidak berduit.
UU-BHP dalam pendidikan menjadi sebuah komoditas. Standar suatu mata kuliah akan diajarkan atau tidak kepada peserta didiknya, berdasarkan relevansi dan tingkat permintaan atau keinginan pasar (para kapitalis—red). Tidak heran jika nantinya akan terjadi buka-tutup pada mata kuliah atau bahkan fakultas. Dan dapat dipastikan bahwa yang akan mengarahkan sistem pendidikan di Indonesia pun adalah pasar. Bila pasar di Indonsia saat ini dikuasai oleh asing, maka pendidikan Indonesia akan dikuasai oleh asing. Jadi pemerintah janganlah berharap banyak dari lulusan perguruan tinggi di negerinya mampu menyelesaikan persoalan bangsanya, karena mereka diarahkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa lain (penjajah—red).
Pada UU-BHP pasal 6 tertulis, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia, dan bekerjasama dengan BHP yang keseluruhan anggota MWAnya berwarganegara Indonesia. Pasal ini mengindikasikan akan terjadi persaingan institusi-institusi pendidikan Indonesia dengan intitusi-institusi asing. Sangat jelas bahwa Indonesia akan kalah, dikarenakan secara finansial kemampuan Indonesia masih di bawah asing.
6. Tri Dharma Perguruan Tinggi Terlupakan
Pada institusi pendidikan yang sudah berorientasi sebagai bisnis, jalannya pendidikan tidak menjadi prioritas utama. Ini merupakan pelanggaran Tri Dharma Perguruan Tinggi yang pertama, yaitu pendidikan.
Pengelolaan institusi yang tidak independen, tergantung pada pihak-pihak yang berkepentingan menyebabkan pengembangan perguruan tinggi sebagai salah satu pusat riset dan penelitian juga bergantung pada keinginan pihak-pihak berkepentingan tersebut. Di sisi lain, pendidikan tinggi hanya untuk menghasilkan lulusan yang diserap oleh perusahaan-perusahaan asing, atau menyelesaikan permasalahan-permasalahan asing, bukan permasalahan rakyat Indonesia. Lulusan pendidikan tinggi setiap tahunnya bertambah, akan tetapi permaslahan rakyat pun bertambah juga, artinya Institusi Pendidikan belumlah berfungsi sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat.
Inti dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan pendidikan tinggi yang diterapkan pemerintah saat ini tidak jauh-jauh dari sumber daya manusia yang dihasilkan.
Inginnya mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kenyataannya malah semakin terpuruk. Manusia-manusia yang terbentuk adalah manusia yang kapitalis dan pragmatis. Kapitalis karena merasa bahwa segala sesuatu bisa dikuasai dengan uang. Pragmatis karena hidupnya bergantung pada keadaan, tidak mampu mandiri. Di samping itu perlu dipertanyakan aspek moralnya. Suasana pendidikan yang penuh persaingan cenderung membentuk manusia yang bermental rendah.
Bagaimana Peran Pemerintah UU BHP
Sesuai bunyi Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", dan Pasal 31 Ayat 2 yang berbunyi "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Artinya pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang. Ini berarti, pemerintah memiliki kewajiban penuh memikul seluruh beban biaya pendidikan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun kenyataannya adalah sampai saat ini warga negara (rakyat) masih saja dibebani dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi. Dalam UU Sisdiknas pasal 9 meminta masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Walaupun dengan dalih sebagai sumbangan sukarela, namun kenyataannya adalah masyarakat memang diwajibkan untuk membayar biaya pendidikan yang seharusnya gratis. Demikian juga dengan RUU BHP yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan. Jika RUU BHP disahkan, setiap SD-SLTA negeri/swasta dan perguruan tinggi negeri akan menjadi BHP. Konsep BHP sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah "peran serta masyarakat" itu cenderung disalahartikan dengan cara menggali dana dari masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha. UU BHP adalah upaya pengalihan tanggung jawab negara terhadap pendidikan dengan meminta masyarakat memikul pembiayaan pendidikan. Jika UU ini diterapkan akan makin sedikit masyarakat tidak mampu yang bisa mengakses pendidikan tinggi. Konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar.
Belajar dari "percobaan" BHMN justru terkesan sebagai jor-joran dan perlombaan menggali dana sebanyak mungkin dari masyarakat. Biaya yang selangit dan aroma penggalangan dana besar-besaran dari orang tua peserta didik, mewarnai PT BHMN selama ini. Idealnya memang dana digali dari sumber lain melalui kerja sama dengan berbagai pihak. Bukan dari orang tua peserta didik. Namun, hal itu membutuhkan kreativitas, kerja keras, dan tentu butuh waktu lebih lama, sementara kebutuhan makin mendesak. Tak heran, fenomena penerimaan mahasiswa baru non-SPMB pun merebak. Berbagai PT BHMN punya nama-nama sendiri terhadap "pintu alternatif" ini. Harganya tidak tanggung-tanggung, bisa mencapai puluhan juta rupiah. Merekrut mahasiswa sebanyak-banyaknya dan menaikkan uang kuliah setinggi-tingginya, dan melakukan seleksi mahasiswa seringan-ringannya, memang bisa jadi rumus cespleng untuk mendapatkan dana. Perguruan tinggi di Indonesia belum berpengalaman dalam menswastakan diri. mem-BHP-kan lembaga pendidikan sebagai upaya komersialisasi dan tak lebih dari representasi neoliberalisme. Ini jelas agenda neoliberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan. Seharusnya pemerintah tidak boleh lepas tangan sama sekali. Alih-alih memenuhi batas alokasi minimal pada pembiayaan pendidikan sebesar 20 persen, dalam RUU BHP tidak terdapat kewajiban pemerintah untuk memberi dana rutin. Ujung-ujungnya nanti hanya orang kaya yang bisa masuk. Lama-lama tidak akan terjangkau oleh orang yang tidak mampu. Mahalnya biaya pendidikan mungkin tidak terlalu terasa lagi, karena lama-lama akan terbentuk komunitas homogen, alias orang yang mampu saja. Pada intinya, bentuk apa pun suatu perguruan tinggi, selama dimaksudkan untuk memperluas akses masyarakat mendapatkan pendidikan, semakin bagus.
Pemerintah perlu menimbang kesiapan masyarakat untuk menghadapi mahalnya biaya pendidikan akibat privatisasi. Privatisasi terutama sekali berpotensi membatasi orang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas. Privatisasi pendidikan seperti yang digariskan dalam UU BHP menyebabkan pembiayaan pendidikan kembali ke masyarakat. Kondisi saat ini masyarakat dinilai belum siap untuk menanggung biaya pendidikan sendiri, tanpa campur tangan pemerintah. Dalam UU Sisdiknas (UU No 20 Tahun 2003), disebutkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Tapi, perlu dilihat juga, kondisi dan kesiapan masyarakat sendiri. Privatisasi jelas akan melambungkan biaya pendidikan.
Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara
Kontrol sosial budaya berperan penting, karena fakta di manapun akan tetap terdapat sejumlah orang yang tidak punya kesadaran, kecuali budaya “memaksa” mereka. Pada masyarakat yang gemar belajar (learning society), menghabiskan waktu tanpa memperoleh ilmu adalah tercela, seperti juga memperoleh ijazah tanpa ilmu, atau mendapat amanah atau jabatan sebelum menguasai ilmunya.
Rasulullah bersabda: “Orang yang mempelajari suatu ilmu yang bermanfaat sampai dia mengerti, pahalanya sama dengan sholat sunat semalam suntuk” (Al-Hadits).
“Tinta ilmuwan itu lebih berat dari darah syuhada” (Al-Hadits).
Di sini Rasul menyatakan ilmu secara umum, tidak dibatasi studi islam seperti tafsir atau fiqih, tapi juga fisika, kedokteran, dsb.
Opini semacam ini harus ditumbuhkan terus melalui dakwah, media massa, film dan contoh para pemuka masyarakat. Opini ini yang akan menjadikan kontrol sosial berjalan, sehingga fasilitas pendidikan yang ada juga tetap terjaga, baik gedung-gedungnya, kualitas gurunya, maupun materi ajarnya. Kalau kontrol sosial melemah, maka gedung sekolah yang mau roboh akan dibiarkan, atau guru yang asal-asalan, skripsi bajakan, juga materi ajar yang tidak membumi atau ketinggalan jaman.
Sedang peran negara adalah yang paling signifikan. Negara bisa intervensi ketika ada orang tua yang sengaja menghalangi anaknya menuntut ilmu tanpa alasan yang dibenarkan syara’. Rasulullah meminta supaya tidak melarang kaum wanita pergi ke masjid (untuk belajar atau aktivitas melayani urusan umat).
Negara juga berperan untuk menghidupkan kontrol sosial, seperti menjamin kemerdekaan pers mengungkap kebenaran dalam pemberitaan pendidikan. Dan yang penting lagi, negara menetapkan sistem pendidikan yang menjamin berlangsungnya tujuan pendidikan. Hal ini dimulai dari penetapan standar mutu pendidikan, standar guru, sampai pembiayaan pendidikan.
Karena menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim, maka negara wajib menyediakannya secara murah, bahkan bila perlu gratis. Karena itu, syariat pendidikan ini tak bisa lepas dari syariat yang mengatur ekonomi, pemerintahan, atau politik luar negeri.
Ini artinya, negara tak boleh menyerahkan pendidikan kepada “mekanisme pasar”, karena di sini mekanisme itu akan distortif. Kalau akses dan mutu pendidikan terkait dengan harga, maka akan terjadi lingkaran setan, dan orang miskin tak pernah akan dapat dientaskan, lantaran mereka tak akan mampu membiayai anaknya ke sekolah. Mungkin mereka bahkan tidak sempat menunjukkan prestasi apapun, sehingga juga luput dari jaringan beasiswa.
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda:
Imam (Kepala Negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.(HR al-Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam bi shawab
0 komentar:
Posting Komentar